Rindu
Ada satu hal
yang baru aku sadari. Rindu tidak melulu perasaan yang sendu.
Aku membayangkan
rindu sebagai hujan yang turun pelan pada sore hari berlangit temaram. Ada yang
berjalan lebih lambat dari biasanya. Waktu dan denyut nadi di lengan kiri.
Tempat jam tanganku melingkar mengabarkan hari yang belum juga habis. Masih ada
beberapa jam lagi. Lalu esok, semua akan terulang lagi. Hujan pelan pada langit
sore yang temaram.
Rindu adalah
rasa yang tersasar dalam penantian.
Seperti dingin
salju yang memabukkan. Dingin yang membuat jari kebas dan hidung memerah beku.
Tubuhmu akan merindukan hangat. Merindukan berada dalam pelukan seorang yang
akrab. Lalu ada sesuatu yang manis tercecap dalam lidahmu, membayangkan rasanya
berada dalam kehangatan. Kau akan bergegas, agar dapat pulang lebih cepat.
Rindu adalah
rasa yang berharap.
Ia adalah
tentang sendiri tapi bukan sepi. Ia adalah menanti yang penuh harapan manis
tentang kemudian.
Rindu adalah
perasaan sendu, dingin yang manis dan memabukkan.
Aku bukan orang
yang terbiasa dengan rindu. Aku orang yang terbiasa dengan sepi.
Seperti
kesepian.
Aku
membayangkan, sepi adalah malam yang pekat. Dimana tanganku bisa menggapai
namun tak akan ada yang tertangkap. Tak ada yang terlihat. Hanya kesadaranku
yang hidup, menghitung jumlah detak jantungku berdegup genap.
Sepi adalah
ketenangan yang bising. Keheningan yang membuatku terasing.
Seperti seorang
gadis yang menutup jendela saat malam jatuh pada bulan mati. Ia mengunci pintu
dan jendela satu-satu agar kedap. Dalam ruangnya yang sendiri, ia meluruh. Setengah
tubuhnya telah jatuh. Merasakan jiwanya yang patah, bahwa ia hanya setengah. Tidak
sempurna dan tidak terlengkapi. Barangkali, ia mulai menangis tanpa suara.
Sepi adalah
jelaga yang memakan mentah.
Tapi aku
menyadari sepiku barangkali tergantikan rindu sekali-sekali.
Rinduku, yang
bergetar.
Seperti pegas,
rinduku adalah rasa teregang.
Seperti tubuh
terlentang dengan kedua tangan terentang. Jantungku berdebar. Pada rasa rapuh
menanti untuk disentuh. Seperti anak panah yang tegang pada busur yang telah
ditarik kencang. Menanti untuk melesat cepat mencipta gurat pada angin yang tak
bergerak.
Atau, patah dan
rusak.
Rinduku bergetar
dan berdebar. Pada rasa yang tak pasti. Apakah rindu berakhir dengan bertemu atau
aku tak mampu menunggu.
Antisipasi. Rasa
menanti yang mengalir di dalamnya adrenalin tinggi.
Rinduku adalah
karet elastis yang batasnya dirahasiakan di antara kita berdua. Tidak akan ada
yang tahu dimana ia akan putus saat kau dan aku menariknya terentang sejauh
jarak dan waktu dalam deret geometri.
Semakin ia
teregang, semakin rinduku bergetar.
Rinduku bukan
tentang manis yang tercecap sekali-sekali , ia adalah tentang energi yang
tertahan untuk dilentingkan nanti.
Dan entah sejak
kapan, aku menemukan diriku menikmati getarannya.
0 comments: