Cerita dari Negeri Kinara - Adat Bagus
ADAT BAGUS
Ada ungkapan
yang sering kudengar diucapkan Ibuku: “dia adatnya bagus.”
Yang artinya
kurang lebih adalah peringatan agar aku maklum atas perilaku si ‘dia’ yang
dibilang adatnya bagus. Karena barangkali ia adalah si bagus yang akan menangis
meraung lebih dari dua jam jika menginginkan mainan namun tidak dibelikan,
sampai terbatuk-batuk dan suaranya serak, atau bahkan muntah, dan masih keras
kepala merajuk minta dibelikan mainan. Atau ia adalah si bagus yang akan
memaksa ingin memiliki semua mainanku dan jika aku melawan ia akan menggigit
tanganku sampai berdarah.
Si adat bagus.
Tentu saja aku
tidak terlahir dengan adat bagus, yang barangkali membuat orangtuaku bersyukur.
Tapi aku sulit bersyukur, karena tidak memiliki adat bagus artinya aku tidak
akan diperlakukan spesial. Si adat bagus boleh berbuat apa saja dan aku tidak
boleh. Si adat bagus boleh egois dan kasar, aku tidak boleh. Si adat bagus dan
aku boleh bertengkar tapi hasilnya sudah diputuskan sejak sebelum pertengkaran.
Si adat bagus
mengajarkan kepadaku ketidak adilan.
Aku tumbuh
menjadi seorang yang sangat peka dengan ketidak adilan yang mungkin terjadi,
dan membuatku menjadi seorang yang adil. Karena aku telah tahu bagaimana
rasanya menatap ketidakadilan yang terjadi di depan mata dan kau tak bisa
apa-apa. Aku tidak akan menjadi seorang yang menambahkan lebih banyak
ketidakadilan di dunia.
Yang lebih buruk
sifatnya boleh lebih dimanja karena mereka menuntut untuk mendapat lebih
banyak, sementara yang baik sifatnya bisa menerima apa adanya maka tak perlu
diberikan perhatian ekstra.
Bagaimana seorang
yang tidak memiliki adat bagus bisa bersyukur karenanya?
Sepupuku yang
perempuan adalah si adat bagus. Ia anak satu-satunya dari sepasang yang
terlahir setelah sepuluh tahun hubungan pernikahan. Itu pun setelah program
pengobatan yang menghabiskan uang tidak sedikit.
Ibuku
menyebutnya anak mahal.
Anak mahal
adalah si adat bagus yang paling sulit ditangani.
Aku pernah di
usir dari rumahnya saat sedang menginap karena aku mengucapkan sesuatu yang ia
tidak senang, jam dua dini hari. Ia sedang membangunkanku dan mengajakku
bermain pedang, aku menolak karena itu tengah malam dan aku masih mengantuk.
Aku meninggalkannya yang terbangun tengah malam dan kini tanpa teman. Ia
berteriak marah membangunkan kedua orangtuanya, ia menangis hebat menyuruhku
agar keluar dari rumahnya. Karena ia tidak sudi aku melanjutkan tidurku disana.
Ia mengusirku saat itu juga. Ibunya berusaha menenangkannya sebentar namun ia
berteriak-teriak makin keras, Ayahnya
menggenggam tanganku dan membawaku keluar. Ia mengantarku pulang malam itu juga
dengan sepeda motornya.
Aku menurut
dengan bingung dan kalut. Aku diantar pulang masih mengenakan piyama. Aku
mengenakan jaket kebesaran milik ayahnya karena sepupuku tidak rela aku
meminjam barangnya. Barang-barangku dirapihkan dengan buru-buru oleh ibunya ke
dalam tasku dan diserahkan padaku. Tapi ada beberapa yang tertinggal dan tidak
pernah aku minta kembali.
Malam itu
barangkali aku menangis tanpa suara sepanjang perjalanan menuju rumahku. Dalam
hatiku aku tahu aku tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tidak ada yang
menanyakan apa perasaanku atau apa yang sebenarnya terjadi padaku. Barangkali,
mereka pikir anak kecil tidak akan banyak berpikir.
Ayahnya membunyikan bel di rumahku beberapa kali sampai ayahku keluar dengan bingung melihatnya dan diriku berada di luar pagar di tengah malam. Ayahnya meminta maaf dan menceritakan kejadiannya secara singkat kepada ayahku.
Katanya, “yah,
namanya juga anak-anak.”
Barangkali ia
lupa, aku juga masih anak-anak.
Ayahku memelukku
setelah masuk rumah dan mengelus kepalaku sambil berkata, “tidak apa-apa.”
Ia membiarkan
aku tidur dengannya malam itu.
Adat bagus boleh
membuat keributan pada jam dua pagi dan semuanya akan menuruti kehendaknya.
0 comments: