Cerita dari Negeri Kinara - Adat Bagus

5:53 PM Klenting Kinara 0 Comments

ADAT BAGUS

Ada ungkapan yang sering kudengar diucapkan Ibuku: “dia adatnya bagus.”

Yang artinya kurang lebih adalah peringatan agar aku maklum atas perilaku si ‘dia’ yang dibilang adatnya bagus. Karena barangkali ia adalah si bagus yang akan menangis meraung lebih dari dua jam jika menginginkan mainan namun tidak dibelikan, sampai terbatuk-batuk dan suaranya serak, atau bahkan muntah, dan masih keras kepala merajuk minta dibelikan mainan. Atau ia adalah si bagus yang akan memaksa ingin memiliki semua mainanku dan jika aku melawan ia akan menggigit tanganku sampai berdarah.

Si adat bagus.

Tentu saja aku tidak terlahir dengan adat bagus, yang barangkali membuat orangtuaku bersyukur. Tapi aku sulit bersyukur, karena tidak memiliki adat bagus artinya aku tidak akan diperlakukan spesial. Si adat bagus boleh berbuat apa saja dan aku tidak boleh. Si adat bagus boleh egois dan kasar, aku tidak boleh. Si adat bagus dan aku boleh bertengkar tapi hasilnya sudah diputuskan sejak sebelum pertengkaran.

Si adat bagus mengajarkan kepadaku ketidak adilan.

Aku tumbuh menjadi seorang yang sangat peka dengan ketidak adilan yang mungkin terjadi, dan membuatku menjadi seorang yang adil. Karena aku telah tahu bagaimana rasanya menatap ketidakadilan yang terjadi di depan mata dan kau tak bisa apa-apa. Aku tidak akan menjadi seorang yang menambahkan lebih banyak ketidakadilan di dunia.

Yang lebih buruk sifatnya boleh lebih dimanja karena mereka menuntut untuk mendapat lebih banyak, sementara yang baik sifatnya bisa menerima apa adanya maka tak perlu diberikan perhatian ekstra.

Bagaimana seorang yang tidak memiliki adat bagus bisa bersyukur karenanya?

Sepupuku yang perempuan adalah si adat bagus. Ia anak satu-satunya dari sepasang yang terlahir setelah sepuluh tahun hubungan pernikahan. Itu pun setelah program pengobatan yang menghabiskan uang tidak sedikit.

Ibuku menyebutnya anak mahal.

Anak mahal adalah si adat bagus yang paling sulit ditangani.

Aku pernah di usir dari rumahnya saat sedang menginap karena aku mengucapkan sesuatu yang ia tidak senang, jam dua dini hari. Ia sedang membangunkanku dan mengajakku bermain pedang, aku menolak karena itu tengah malam dan aku masih mengantuk. Aku meninggalkannya yang terbangun tengah malam dan kini tanpa teman. Ia berteriak marah membangunkan kedua orangtuanya, ia menangis hebat menyuruhku agar keluar dari rumahnya. Karena ia tidak sudi aku melanjutkan tidurku disana. Ia mengusirku saat itu juga. Ibunya berusaha menenangkannya sebentar namun ia berteriak-teriak makin  keras, Ayahnya menggenggam tanganku dan membawaku keluar. Ia mengantarku pulang malam itu juga dengan sepeda motornya.

Aku menurut dengan bingung dan kalut. Aku diantar pulang masih mengenakan piyama. Aku mengenakan jaket kebesaran milik ayahnya karena sepupuku tidak rela aku meminjam barangnya. Barang-barangku dirapihkan dengan buru-buru oleh ibunya ke dalam tasku dan diserahkan padaku. Tapi ada beberapa yang tertinggal dan tidak pernah aku minta kembali.

Malam itu barangkali aku menangis tanpa suara sepanjang perjalanan menuju rumahku. Dalam hatiku aku tahu aku tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tidak ada yang menanyakan apa perasaanku atau apa yang sebenarnya terjadi padaku. Barangkali, mereka pikir anak kecil tidak akan banyak berpikir.

Ayahnya membunyikan bel di rumahku beberapa kali sampai ayahku keluar dengan bingung melihatnya dan diriku berada di luar pagar di tengah malam. Ayahnya meminta maaf dan menceritakan kejadiannya secara singkat kepada ayahku.

Katanya, “yah, namanya juga anak-anak.”

Barangkali ia lupa, aku juga masih anak-anak.

Ayahku memelukku setelah masuk rumah dan mengelus kepalaku sambil berkata, “tidak apa-apa.”

Ia membiarkan aku tidur dengannya malam itu.


Adat bagus boleh membuat keributan pada jam dua pagi dan semuanya akan menuruti kehendaknya.

0 comments: