Rindu

10:26 PM Klenting Kinara 0 Comments

Ada satu hal yang baru aku sadari. Rindu tidak melulu perasaan yang sendu.

Aku membayangkan rindu sebagai hujan yang turun pelan pada sore hari berlangit temaram. Ada yang berjalan lebih lambat dari biasanya. Waktu dan denyut nadi di lengan kiri. Tempat jam tanganku melingkar mengabarkan hari yang belum juga habis. Masih ada beberapa jam lagi. Lalu esok, semua akan terulang lagi. Hujan pelan pada langit sore yang temaram.

Rindu adalah rasa yang tersasar dalam penantian.

Seperti dingin salju yang memabukkan. Dingin yang membuat jari kebas dan hidung memerah beku. Tubuhmu akan merindukan hangat. Merindukan berada dalam pelukan seorang yang akrab. Lalu ada sesuatu yang manis tercecap dalam lidahmu, membayangkan rasanya berada dalam kehangatan. Kau akan bergegas, agar dapat pulang lebih cepat.

Rindu adalah rasa yang berharap.

Ia adalah tentang sendiri tapi bukan sepi. Ia adalah menanti yang penuh harapan manis tentang kemudian.

Rindu adalah perasaan sendu, dingin yang manis dan memabukkan.

Aku bukan orang yang terbiasa dengan rindu. Aku orang yang terbiasa dengan sepi.

Seperti kesepian.

Aku membayangkan, sepi adalah malam yang pekat. Dimana tanganku bisa menggapai namun tak akan ada yang tertangkap. Tak ada yang terlihat. Hanya kesadaranku yang hidup, menghitung jumlah detak jantungku berdegup genap.

Sepi adalah ketenangan yang bising. Keheningan yang membuatku terasing.

Seperti seorang gadis yang menutup jendela saat malam jatuh pada bulan mati. Ia mengunci pintu dan jendela satu-satu agar kedap. Dalam ruangnya yang sendiri, ia meluruh. Setengah tubuhnya telah jatuh. Merasakan jiwanya yang patah, bahwa ia hanya setengah. Tidak sempurna dan tidak terlengkapi. Barangkali, ia mulai menangis tanpa suara.

Sepi adalah jelaga yang memakan mentah.

Tapi aku menyadari sepiku barangkali tergantikan rindu sekali-sekali.

Rinduku, yang bergetar.

Seperti pegas, rinduku adalah rasa teregang.

Seperti tubuh terlentang dengan kedua tangan terentang. Jantungku berdebar. Pada rasa rapuh menanti untuk disentuh. Seperti anak panah yang tegang pada busur yang telah ditarik kencang. Menanti untuk melesat cepat mencipta gurat pada angin yang tak bergerak.

Atau, patah dan rusak.

Rinduku bergetar dan berdebar. Pada rasa yang tak pasti. Apakah rindu berakhir dengan bertemu atau aku tak mampu menunggu.

Antisipasi. Rasa menanti yang mengalir di dalamnya adrenalin tinggi.

Rinduku adalah karet elastis yang batasnya dirahasiakan di antara kita berdua. Tidak akan ada yang tahu dimana ia akan putus saat kau dan aku menariknya terentang sejauh jarak dan waktu dalam deret geometri.

Semakin ia teregang, semakin rinduku bergetar.

Rinduku bukan tentang manis yang tercecap sekali-sekali , ia adalah tentang energi yang tertahan untuk dilentingkan nanti.


Dan entah sejak kapan, aku menemukan diriku menikmati getarannya.

0 comments:

Cerita dari Negeri Kinara - Pembantu

6:41 PM Klenting Kinara 0 Comments

PEMBANTU

Aku mengenal awal-awal pertumbuhanku dari tangan ke tangan. Tangan tante, tangan tetangga dan tangan pembantu rumah tangga. Ibuku tentu juga ikut mengurusiku, tapi aku adalah satu dari sekian banyak anaknya. Barangkali tangannya yang dua tidak cukup banyak untuk anaknya yang lima.

Ibuku telah mengajarkan padaku, bahwa aku bukanlah seseorang yang tidak tergantikan. Ia sering salah menyebut namaku dengan nama adikku, ia jarang mengajakku bicara karena ia sibuk sendiri, ia membiarkan aku hidup dari tangan ke tangan.

Aku memiliki tante yang masih muda dan baik. Ia hanya tidak terlalu peduli. Jika ibuku meminta bantuannya untuk mengurusku ia akan mengiyakannya dan membawaku mengikuti kegiatannya. Ia sering membawaku ke salon, karena ia perlu ke salon dan ia tidak bisa meninggalkanku. Ia membiarkan aku ditangani oleh orang salon yang merupakan temannya sementara ia membaca majalah sambil rambutnya dimacam-macam. Aku sering di creambath, karena aku akan duduk dengan tenang sementara menikmati rasa dingin-dingin di kepalaku. Saat itu aku belum tahu, bahwa krim yang digunakan berisi hanya bahan-bahan kimia.

Ia akan mengiyakan jika ibuku memintanya menyuapi aku makan. Ia akan membawaku jalan-jalan ke taman dekat rumah dan menyuapiku. Tapi aku adalah anak kecil yang jika dibawa ke taman akan sering terpecah perhatiannya. Maka saat aku tidak kembali untuk minta disuapi, tanteku akan membuang isi piringku ke tempat sampah dan mengantarku pulang sambil berkata kepada ibuku tugasnya sudah selesai. Malamnya aku sering merasa lapar.

Tetanggaku adalah seorang nenek pembuat kue untuk dijual di pasar. Jika aku berada di rumahnya ia akan menjadi sangat galak, karena ia tidak ingin aku membuat berantakan apapun. Kalau aku berani menyentuh kuenya atau bahan-bahan pembuat kue ia akan memukul tanganku dan menyuruhku berdiri di pojok menghadap tembok.

Aku juga punya banyak tetangga yang lain, ada yang selalu terlihat cantik dengan muka berpulas dandanan dan baju yang menurutku seksi. Dia adalah tetanggaku yang baik, ia sering membuatkanku es teh manis karena ia tahu aku menyukainya. Tapi kadang ada lelaki yang akan datang ke rumahnya dan ia akan menyuruhku pulang dulu atau bermain di luar.

Ada yang bekerja di rumah memasukkan roti kering bermargarin ke dalam kantong-kantong plastik bening lalu membakar ujungnya dengan lilin agar rekat. Ia suka membiarkanku memakan sisa roti-roti itu setelah aku membantunya membungkus ke dalam plastik-plastik. Akan ada orang yang akan datang untuk mengambil roti-roti kering itu dan membayarnya dengan uang. Kadang, kalau hatinya sedang baik, ia memberiku uang untukku jajan.

Dan masih banyak yang lain. Ada suasana berbeda di setiap rumah, ada karakter yang berbeda di setiap manusia. Aku menjadi belajar cara agar disukai dan diterima. Karena bagaimanapun, jika ibuku sedang menitipkan aku maka ia antara sedang begitu sibuk atau sedang keluar rumah. Maka jika aku berbuat salah sehingga dipulangkan aku akan menghadapi amarah ibuku.

Tapi aku punya pembantu yang aku begitu sayang padanya aku tidak masalah ia berkutu, aku tetap ingin tidur dengannya. Ibuku akan kemudian marah-marah, menyalahkan kelengketanku pada pembantuku seolah sesuatu yang salah. Tapi aku tumbuh dengannya, ia menidurkanku dipangkuannya sambil pantatku ditepuk-tepuk hingga mataku terasa berat. Ia menyuapiku dan menyisiri rambutku setiap hari. Ia memberikanku baju, mainan atau makanan yang dibelikan untukku sepulangnya ia dari pasar. Ia tidak memarahiku ketika aku nakal melainkan menakuti dengan cerita wayang yang seram-seram. Aku menjadi penurut.

Barangkali anak kecil membuat orang dewasa mudah jatuh sayang. Aku pikir pembantuku telah sayang padaku, karena kadang ia menidurkan aku sambil menggumamkan lagu lembut dan mengelus pucuk kepalaku. Menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku agar tidak mengganggu.

Tapi kemudian, ia pulang kampung untuk menikah dan tidak kembali lagi padaku. Barangkali aku merajuk sampai seminggu, karena Ibuku tidak tahu bagaimana cara mengurusku seperti pembantuku melakukannya.

Lalu datanglah pembantu baru. Ia mengurusiku, bertahan saat aku memperlakukannya dengan menyebalkan (karena aku tidak mau pembantu baru, aku mau pembantuku yang aku sayang. Aku berbuat sejadi-jadinya, barangkali aku berpikir jika pembantu baruku pergi pembantu lama akan kembali), sampai kemudian aku menjadi akrab dengannya.

Tapi kemudian, ia berhenti bekerja pada Ibuku dan datang pembantu baru lagi.

Entah sejak kapan aku sadar, pembantu-pembantu ibuku tidak datang untuk mengurusiku. Mereka datang untuk dibayar. Mereka punya kehidupan mereka sendiri dan aku bukan bagian dari kehidupannya. Aku menjadi mandiri. Aku melupakan semua nama-nama mereka.

Tapi ternyata aku melupakan lebih dari sekedar nama, aku telah melupakan arti dari kedekatan. Hubungan antar manusia menjelma kebutuhan. Aku menjadi sulit percaya dengan ketulusan.  

Entah sejak kapan, aku tidak lagi melihat diriku sebagai seorang yang berharga, yang dicintai dan dibutuhkan. Aku melihat diriku sebagai beban, yang jika aku menghilang akan tergantikan.

Barangkali, aku menjadi lebih pendiam.

0 comments:

Cerita dari Negeri Kinara - Adat Bagus

5:53 PM Klenting Kinara 0 Comments

ADAT BAGUS

Ada ungkapan yang sering kudengar diucapkan Ibuku: “dia adatnya bagus.”

Yang artinya kurang lebih adalah peringatan agar aku maklum atas perilaku si ‘dia’ yang dibilang adatnya bagus. Karena barangkali ia adalah si bagus yang akan menangis meraung lebih dari dua jam jika menginginkan mainan namun tidak dibelikan, sampai terbatuk-batuk dan suaranya serak, atau bahkan muntah, dan masih keras kepala merajuk minta dibelikan mainan. Atau ia adalah si bagus yang akan memaksa ingin memiliki semua mainanku dan jika aku melawan ia akan menggigit tanganku sampai berdarah.

Si adat bagus.

Tentu saja aku tidak terlahir dengan adat bagus, yang barangkali membuat orangtuaku bersyukur. Tapi aku sulit bersyukur, karena tidak memiliki adat bagus artinya aku tidak akan diperlakukan spesial. Si adat bagus boleh berbuat apa saja dan aku tidak boleh. Si adat bagus boleh egois dan kasar, aku tidak boleh. Si adat bagus dan aku boleh bertengkar tapi hasilnya sudah diputuskan sejak sebelum pertengkaran.

Si adat bagus mengajarkan kepadaku ketidak adilan.

Aku tumbuh menjadi seorang yang sangat peka dengan ketidak adilan yang mungkin terjadi, dan membuatku menjadi seorang yang adil. Karena aku telah tahu bagaimana rasanya menatap ketidakadilan yang terjadi di depan mata dan kau tak bisa apa-apa. Aku tidak akan menjadi seorang yang menambahkan lebih banyak ketidakadilan di dunia.

Yang lebih buruk sifatnya boleh lebih dimanja karena mereka menuntut untuk mendapat lebih banyak, sementara yang baik sifatnya bisa menerima apa adanya maka tak perlu diberikan perhatian ekstra.

Bagaimana seorang yang tidak memiliki adat bagus bisa bersyukur karenanya?

Sepupuku yang perempuan adalah si adat bagus. Ia anak satu-satunya dari sepasang yang terlahir setelah sepuluh tahun hubungan pernikahan. Itu pun setelah program pengobatan yang menghabiskan uang tidak sedikit.

Ibuku menyebutnya anak mahal.

Anak mahal adalah si adat bagus yang paling sulit ditangani.

Aku pernah di usir dari rumahnya saat sedang menginap karena aku mengucapkan sesuatu yang ia tidak senang, jam dua dini hari. Ia sedang membangunkanku dan mengajakku bermain pedang, aku menolak karena itu tengah malam dan aku masih mengantuk. Aku meninggalkannya yang terbangun tengah malam dan kini tanpa teman. Ia berteriak marah membangunkan kedua orangtuanya, ia menangis hebat menyuruhku agar keluar dari rumahnya. Karena ia tidak sudi aku melanjutkan tidurku disana. Ia mengusirku saat itu juga. Ibunya berusaha menenangkannya sebentar namun ia berteriak-teriak makin  keras, Ayahnya menggenggam tanganku dan membawaku keluar. Ia mengantarku pulang malam itu juga dengan sepeda motornya.

Aku menurut dengan bingung dan kalut. Aku diantar pulang masih mengenakan piyama. Aku mengenakan jaket kebesaran milik ayahnya karena sepupuku tidak rela aku meminjam barangnya. Barang-barangku dirapihkan dengan buru-buru oleh ibunya ke dalam tasku dan diserahkan padaku. Tapi ada beberapa yang tertinggal dan tidak pernah aku minta kembali.

Malam itu barangkali aku menangis tanpa suara sepanjang perjalanan menuju rumahku. Dalam hatiku aku tahu aku tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tidak ada yang menanyakan apa perasaanku atau apa yang sebenarnya terjadi padaku. Barangkali, mereka pikir anak kecil tidak akan banyak berpikir.

Ayahnya membunyikan bel di rumahku beberapa kali sampai ayahku keluar dengan bingung melihatnya dan diriku berada di luar pagar di tengah malam. Ayahnya meminta maaf dan menceritakan kejadiannya secara singkat kepada ayahku.

Katanya, “yah, namanya juga anak-anak.”

Barangkali ia lupa, aku juga masih anak-anak.

Ayahku memelukku setelah masuk rumah dan mengelus kepalaku sambil berkata, “tidak apa-apa.”

Ia membiarkan aku tidur dengannya malam itu.


Adat bagus boleh membuat keributan pada jam dua pagi dan semuanya akan menuruti kehendaknya.

0 comments:

Rara Jonggrang - Gadis malang yang tidak bisa memutuskan

1:04 AM Klenting Kinara 0 Comments



Ada sesuatu dengan kisah rakyat. Ia selalu menggelitikku. Ada kedalaman berbeda setiap kali aku membaca kisah rakyat, ada interpretasi yang berubah-ubah seiring juga perubahan diriku yang bertumbuh. Tapi ada satu kisah yang begitu dekat denganku daripada yang lain. Ialah kisah Rara Jonggrang.

Rara Jonggrang adalah cerita rakyat yang sudah tak asing bagi penduduk jawa. Namun aku tidak mengenalnya sebagai cerita rakyat. Aku mengenalnya sebagai bagian dari masa laluku.

Aku tumbuh dengan sebuah dongeng yang bersinggungan, bahwa pada suatu titik dalam hidupku saat aku masih bayi yang sehat dengan pipi montok yang merona kemerahan dengan wangi susu masih menempel, orangtuaku membawaku ke candi prambanan untuk wisata.

Ada sebuah foto yang masih kusimpan, saat aku yang masih bayi digendong oleh ibuku dengan sebuah arca patung perempuan di belakangku yang kukenal sebagai Rara Jonggrang.

Adalah kebetulan bagi mereka yang tidak percaya dan adalah kemungkinan bagi mereka yang percaya, tapi aku yang bayi langsung jatuh sakit malam itu hingga rencana wisata dihentikan di tengah. Kami pulang dengan kecemasan di hati kedua orangtuaku. Aku yang bayi tidak kunjung sembuh hingga lebih dari seminggu, berat tubuhku berkurang hingga lebih setengahnya, hingga hilang pipi montok dengan rona kemerahan yang semula menghiasinya.

Orang yang memiliki kepekaan batin menyampaikan pada ibuku bahwa Rara Jonggrang menginginkanku sehingga ia ingin menarikku berpindah dunia. Namun seorang dukun menghentikannya. Sakitku sembuh, tapi aku tidak pernah sesehat sebelumnya.

Tapi kalimat itu tertinggal padaku, Rara Jonggrang menginginkanku.

Ada kedekatan yang aneh bagiku dan dongeng Rara Jonggrang. Betapa sedih, ketika aku mendengar cerita tentangnya, bahwa ia dikutuk menjadi arca karena telah menipu seorang pangeran bernama Bandawasa. Ia dihukum karena menipu, sementara jarang diceritakan betapa Bandawasa telah membunuh Ayah Rara Jonggrang sebelum ia datang, di atas darah Ayahnya dan darah peperangan yang dimenangkannya, ia datang melamar Rara Jonggrang untuk memperistrinya.

Jika kau seorang Rara Jonggrang apa yang akan kau lakukan?

*

Kisah rakyat yang sering diceritakan berulang adalah tentang Bandawasa meminta Rara Jonggrang agar mau menjadi istrinya. Rara Jonggrang yang tidak ingin menikah dengan Bandawasa memberi syarat yang mustahil kepada Bandawasa untuk membuatkannya seribu candi dalam semalam. Bandawasa dengan dibantu oleh tenaga jin berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilah puluh sembilan candi, dan pada proses membangun ke seribu Rara Jonggrang melancarkan rencana untuk menggagalkannya. Ia menyuruh seluruh dayang untuk membakar jerami di timur agar langit kemerahan dan menumbuk padi agar ayam mulai berkokok.

Para jin yang melihat langit mulai terang dan ayam mulai berkokok berpikir pagi telah datang dan pergi meninggalkan candi yang keseribu tidak selesai terbangun. Bandawasa yang menyadari langit tak kunjung cerah menyadari bahwa hari belum benar-benar pagi dan cahaya kemerahan di timur hanyalah jerami yang dibakar merasa telah tertipu.

Ia mengutuk Rara Jonggrang dan menjadikannya arca di dalam candi keseribu.

Tapi barangkali, dalam bayanganku, Rara Jonggrang bukanlah membikin syarat untuk menipu. Ia memberi syarat untuk memberi waktu. Karena ia belum bisa memutuskan.

***

Bayangkanlah seorang putri yang begitu cantik hingga seorang pangeran dari negeri seberang yang datang untuk menguasai kerajaan terjatuh pada lututnya, kehilangan semua alasan dan logika sebelum ia datang, ia yang baru membunuh separuh isi kerajaan dengan satu tujuan, tunduk pada kecantikan Rara Jonggrang. Melupakan segalanya, bahkan bahwa ia baru saja membunuh ayahnya, dengan darah yang barangkali belum diseka, ia meminta kepadanya untuk bersedia menjadi istrinya. Menjadi perempuan yang akan berbagi ranjang dan kerajaan dengannya.

Bayangkanlah, seorang putri yang begitu cantik menghadapi pembunuh ayahnya yang berlutut dihadapannya dengan wajah memerah. Dengan adrenalin yang memompa dalam darahnya lebih deras daripada ketika ia bertarung dalam perang yang mempertaruhkan nyawa. Ia berada di sana, menawarkan separuh ranjangnya dan separuh kerajaannya.

Lelaki itu telah membunuh ayahnya. Ia tahu itu. Ia membunuh ayahnya, raksasa pemakan manusia yang telah memerintah kerajaannya dengan semena-mena. Ia juga tahu itu. Ia telah sejak lama tahu, siapa penguasa di kerajaannya dengan rakyat yang dengan takut-takut berdoa kepada dewa agar anaknya tidak terpilih sebagai persembahan untuk sang raja pemakan manusia dan siapa penguasa kerajaan tetangganya yang begitu makmur dengan rakyatnya yang berbahagia.

Tapi ia tidak bisa menjawabnya saat itu juga. Tidak dengan semua mata yang memandang kepada mereka berdua, tidak percaya atas apa yang terjadi dan tidak mampu menebak apa yang akan terjadi. Mata kawan dan lawan menyorot sama tajam. Akankah Rara menjadi pengkhianat dengan menerima penjajah yang baru saja membunuh raja mereka atau akankah ia mati dengan memegang harga diri dengan menolak.

Ia menimbang-nimbang, kejadian yang telah terjadi begitu cepat dan ia belum memahami apa yang ia rasakan. Apakah ia sedang berduka atas kehilangan ayahnya ataukah kehilangan rakyat dan tentaranya dalam peperangan? Apakah ia akan berkhianat dengan menerima pinangan lelaki yang telah membunuh ayahnya ataukah menyelamatkan nyawa rakyat yang kini kehilangan penguasanya?

Rara berpikir cepat. Ia membutuhkan waktu. Ia memberi syarat.

Buatkan aku seribu candi dalam semalam.

Karena ia tahu, lelaki itu tidak akan mampu. Maka setelahnya, ia bisa bicara. Dengan posisi sama tinggi, ia sebagai putri dari kerajaan yang telah kalah, dan Bandawasa sebagai pangeran yang telah kalah pada syaratnya.

Ia akan memiliki sepanjang malam untuk membuat keputusan.

Seluruh istana gempar mendengar kabar atas apa yang terjadi di sebuah ruang istana tempat Rara bertemu Bandawasa yang bertekuk lutut meminangnya. Peperangan tertangguhkan. Petinggi dan prajurit kedua kerajaan kehilangan kata-kata, tidak ada yang bisa menebak hal ini akan terjadi. Mereka bersinggungan dengan tegang dan canggung, tidak tahu apa mereka akan menjadi kesatuan saat pagi datang ataukah pembunuhan. Penyelesaian dari invasi yang hampir selesai.

Rara jonggrang kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan atau muntahkan. Ia menyuruh seluruh dayang keluar dari kamarnya. Ia berdiri kosong dalam kesendiriannya. Tidak ada air mata yang tumpah. Ia menoleh ke jendela kamarnya yang masih terbuka, walau malam telah mulai jatuh. Ia bergerak kesana, melihat langit dengan bulannya yang purnama dan bertanya pada dewa.

Apa yang harus kulakukan?

Dari kejauhan suara gemuruh terdengar samar, ia melihat api-api kecil bermunculan pada satu titik di kejauhan sebelah utara. Suara yang terdengar semakin ramai dengan cangkul, palu, pemotong batu. Dari kejauhan ia telah sadar, Bandawasa sedang menjalankan syaratnya. Ia menutup jendela agar kedap, dan dalam kamarnya yang gelap ia menyadari, ia tak akan mampu membuat keputusan malam ini.

Tidak ada yang tidur malam itu. Tidak seorangpun dari kerajaan Pengging dan Prambanan. Diam-diam mereka mendengarkan bising konstruksi candi yang sedang dikerjakan. Yang akan menentukan apa yang akan terjadi saat pagi hari datang.

Rara dan Bandawasa tidak terkecuali. Mereka saling memikirkan satu sama lain dengan keresahan. Bandawasa yang resah jika seribu candi tidak selesai, Rara Jonggrang yang resah jika seribu candi selesai.

Rara mengambil jubah gelap dari lemarinya, ia memutuskan untuk pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ada kesunyian yang janggal dalam istananya, tapi ia telah menguatkan hati. Ia akan memastikan apakah Bandawasa akan mampu menyelesaikan seribu candi. Ia yakin hal itu mustahil, tapi Bandawasa telah mengalahkan ayahnya yang selama ini ia pikir juga adalah hal mustahil.

Ia berdiri pada ujung bukit paling utara di luar istananya, menatap kumpulan api-api kecil penerangan pembangunan kompleks candi di bawahnya. Betapa ia terkejut saat melihat benda-benda bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, suara gemuruh samar yang ia telah dengar saat malam baru jatuh adalah suara dari pekerja candi yang tidak terlihat wujudnya. Bukan prajurit, bukan manusia.

Tangan Rara bergerak tanpa sadar menyentuh dadanya, merasakan gemuruhnya. Jantungnya berdetak kencang, saat itu juga ia telah tahu. Seribu candi akan selesai dalam semalam.

Ia melihat Bandawasa yang berdiri bersedekap pada tumpukan batu yang tinggi, mengawasi pembangunan dengan raut cemas. Ia melihat lelaki itu, yang gagah dan sakti. Ia teringat saat ia berlutut di depannya dengan wajah kemerahan, ia tahu betapa tulusnya. Ia tahu betapa ia telah berusaha walau syarat yang ia berikan bukan untuk diselesaikan. Ia tahu lelaki itu begitu menginginkannya. Ia tidak meragukannya.

Tapi ia adalah lelaki yang telah membunuh ayahnya. Dan anak perempuan mana yang mampu menikah dengan pembunuh ayahnya? Ia khawatir hal itu akan menciptakan petaka. Dan apa yang akan diucapkan semua orang tentangnya? Pengkhianat yang memilih nyawa daripada kehormatan keluarga dan kerajaannya. Walau ia tahu ini bukan hanya perkara nyawa melainkan kekuasaan dan kesejahteraan rakyat kerajaannya.

Tapi Rara melihat lelaki itu, ia tidak tahu apa ia membencinya atau tidak. Barangkali tidak. Ia berharap, andai mereka bertemu dalam keadaan yang sama sekali lain. Ia berulang kali mempertanyakan satu hal.

Apakah aku siap menjadi istri lelaki itu dan berada di sisinya untuk sepanjang sisa hidupku?

Ia tidak tahu jawabannya. Suara lain mulai muncul di kepalanya.

Aku bisa membunuhnya untuk membalaskan dendam ayahku jika aku menjadi istrinya.

Tapi rautnya berubah sedih.

Aku bukan seorang pembunuh. Dunia ini tidak butuh lebih banyak pembunuhan.

Dan satu candi telah selesai terbangun lagi.

Rara mengerjapkan matanya, merasakan sebutir mutiara bening miliknya jatuh dan pecah di pipinya yang pucat memantulkan cahaya bulan purnama. Barangkali saat itu Bandawasa merasakan kehadirannya dan menoleh ke arahnya. Seorang gadis tercantik yang pernah ia temui dalam jubah gelap yang berusaha menutupi. Tapi kulitnya memantulkan cahaya bulan purnama dan keindahannya tak bisa ditutupi dengan selembar kain berwarna gelap.

Rara memalingkan wajah, ia tak mampu membuat keputusan. Ia memandang bulan yang telah condong sedang menyaksikan apa yang terjadi.

Aku butuh lebih banyak waktu.

Ia akan membuat pagi lebih cepat datang. Ia berbalik dan bergegas membangunkan para perempuan dan dayang istana untuk membakar jerami di timur agar langit terang kemerahan dan menyuruh mereka menumbuk padi agar seolah pagi telah datang.

Ia ingin seperti rencananya kemarin, pagi ini mereka akan bicara. Ia akan memberi sebuah syarat yang lain, yang akan selesai dalam seminggu. Ia ingin memiliki seminggu untuk membuat keputusan.

Suara gemuruh terdengar lagi, bersamaan dengan padamnya api-api dikejauhan tempat candi-candi sedang dibangun. Meninggalkan tempat itu sepi dalam sekejap, suara bising konstruksi berhenti mendadak.

Tapi langit baru terang setelah keheningan berlangsung cukup lama, bersamaan dengan suara bisik-bisik semua orang dalam kerajaan itu yang menerka-nerka masa depan mereka. Rara datang ke kompleks pembangunan candi diiringi dayang-dayang yang telah membakar jerami dan menumbuk padi.

Bandawasa sedang berdiri di batu tinggi tempat ia menemukannya semalam. Matanya merah karena amarah. Ia merasa ditipu selama ia menunggu langit yang tak kunjung terang.
Rara datang untuk bicara, ia meminta dayangnya berhenti sementara ia ingin menghampiri Bandawasa sendiri.

“Aku telah menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi,” katanya.

Semua orang yang mampu mendengar ucapan Bandawasa yang lantang langsung ramai berbisik riuh. Mereka kini telah tahu keadaannya. Bandawasa telah gagal.

“Aku tahu,” kata Rara.

“Tentu,” kata Bandawasa, “karena kau yang telah menggagalkannya.”

Dengan suara yang lebih pelan Rara berkata, “aku tahu. Kita akan bicara.”

Bandawasa berang mendengarnya, “tidak ada yang perlu dibicarakan dengan penipu.”

Rara menatapnya, dengan tatapan yang sama yang ia telah lihat semalam. Tatapan yang telah membuatnya merasa gadis itu barangkali mencintainya seperti ia mencintai gadis itu. Tatapan yang telah menghilangkan raut cemasnya semalam. Tapi ternyata ia menemukan gadis itu telah menipunya dengan menciptakan suasana seolah pagi telah datang. Membuat jin dan makhluk halus yang tengah membangun candi berhenti meninggalkannya dengan candi keseribu yang baru terbangun kurang dari setengah. Candi terakhir yang telah ia minta agar menjadi yang terbagus dan terbesar, yang akan ia persembahkan untuk Rara dengan bangga.

Kau tidak mengerti, kata Rara dalam kata yang tidak mampu terlontar dari bibirnya.

Air matanya telah jatuh lagi seperti semalam, setitik basah yang membuat Bandawasa semakin berang. Ia kembali teringat semalam, kekecewaannya saat ia mengetahui yang menggagalkannya dari syarat membangun seribu candi adalah Rara Jonggrang sendiri. Gadis itu telah membuat usahanya sepanjang malam menjadi bahan tertawaan semua yang datang pagi ini. Gadis itu tidak menginginkan pernikahan dengannya. Ia hanya mencari cara untuk menolaknya.

Maka dalam kemarahan dan kekalutan perasaan yang ia tidak pahami antara kekecewaan atas penolakan, rasa malu telah jatuh kedalam tipuan membangun seribu candi, kegagalannya yang ia tidak bisa terima ia dengan lantang mengutuk Rara Jonggrang.

“Jika kau tidak ingin menjadi istriku maka jadilah bagian dari candi keseribu yang telah menjadi syaratmu namun kau ingkari.”

Maka Rara Jonggrang menjelma arca batu yang membeku dalam candi ke seribu.

*

Barangkali, pada malam-malam tertentu saat Bandawasa melihat bulan sedang penuh purnama, ia mengunjungi candi keseribu dengan arca Rara Jonggrang di dalamnya yang berkilau merah. Merasakan rasa pahit di lidahnya, saat ia menyadari amarahnya telah membekukan gadis yang ia cintai ke dalam bukti cintanya yang ia bangun dengan jantung begitu berdetak, dengan semangat dan cemas, tak sabar menunggu pagi untuk mempersembahkannya dengan lantang dan bangga.


Barangkali, ia tahu rasa pahit itu tidak berasal dari lidahnya melainkan satu sudut dihatinya saat ia menatap ironi yang telah terbangun megah.

0 comments: