Rara Jonggrang - Gadis malang yang tidak bisa memutuskan
Ada sesuatu dengan kisah rakyat. Ia selalu
menggelitikku. Ada kedalaman berbeda setiap kali aku membaca kisah rakyat, ada
interpretasi yang berubah-ubah seiring juga perubahan diriku yang bertumbuh.
Tapi ada satu kisah yang begitu dekat denganku daripada yang lain. Ialah kisah
Rara Jonggrang.
Rara Jonggrang adalah cerita rakyat yang sudah tak
asing bagi penduduk jawa. Namun aku tidak mengenalnya sebagai cerita rakyat.
Aku mengenalnya sebagai bagian dari masa laluku.
Aku tumbuh dengan sebuah dongeng yang bersinggungan,
bahwa pada suatu titik dalam hidupku saat aku masih bayi yang sehat dengan pipi
montok yang merona kemerahan dengan wangi susu masih menempel, orangtuaku
membawaku ke candi prambanan untuk wisata.
Ada sebuah foto yang masih kusimpan, saat aku yang
masih bayi digendong oleh ibuku dengan sebuah arca patung perempuan di
belakangku yang kukenal sebagai Rara Jonggrang.
Adalah kebetulan bagi mereka yang tidak percaya dan
adalah kemungkinan bagi mereka yang percaya, tapi aku yang bayi langsung jatuh
sakit malam itu hingga rencana wisata dihentikan di tengah. Kami pulang dengan
kecemasan di hati kedua orangtuaku. Aku yang bayi tidak kunjung sembuh hingga
lebih dari seminggu, berat tubuhku berkurang hingga lebih setengahnya, hingga
hilang pipi montok dengan rona kemerahan yang semula menghiasinya.
Orang yang memiliki kepekaan batin menyampaikan pada
ibuku bahwa Rara Jonggrang menginginkanku sehingga ia ingin menarikku berpindah
dunia. Namun seorang dukun menghentikannya. Sakitku sembuh, tapi aku tidak pernah
sesehat sebelumnya.
Tapi kalimat itu tertinggal padaku, Rara Jonggrang menginginkanku.
Ada kedekatan yang aneh bagiku dan dongeng Rara
Jonggrang. Betapa sedih, ketika aku mendengar cerita tentangnya, bahwa ia
dikutuk menjadi arca karena telah menipu seorang pangeran bernama Bandawasa. Ia
dihukum karena menipu, sementara jarang diceritakan betapa Bandawasa telah
membunuh Ayah Rara Jonggrang sebelum ia datang, di atas darah Ayahnya dan darah
peperangan yang dimenangkannya, ia datang melamar Rara Jonggrang untuk
memperistrinya.
Jika kau seorang Rara Jonggrang apa yang akan kau
lakukan?
*
Kisah rakyat yang sering diceritakan berulang adalah
tentang Bandawasa meminta Rara Jonggrang agar mau menjadi istrinya. Rara
Jonggrang yang tidak ingin menikah dengan Bandawasa memberi syarat yang
mustahil kepada Bandawasa untuk membuatkannya seribu candi dalam semalam. Bandawasa
dengan dibantu oleh tenaga jin berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilah
puluh sembilan candi, dan pada proses membangun ke seribu Rara Jonggrang
melancarkan rencana untuk menggagalkannya. Ia menyuruh seluruh dayang untuk
membakar jerami di timur agar langit kemerahan dan menumbuk padi agar ayam
mulai berkokok.
Para jin yang melihat langit mulai terang dan ayam
mulai berkokok berpikir pagi telah datang dan pergi meninggalkan candi yang
keseribu tidak selesai terbangun. Bandawasa yang menyadari langit tak kunjung
cerah menyadari bahwa hari belum benar-benar pagi dan cahaya kemerahan di timur
hanyalah jerami yang dibakar merasa telah tertipu.
Ia mengutuk Rara Jonggrang dan menjadikannya arca di
dalam candi keseribu.
Tapi barangkali, dalam bayanganku, Rara Jonggrang
bukanlah membikin syarat untuk menipu. Ia memberi syarat untuk memberi waktu.
Karena ia belum bisa memutuskan.
***
Bayangkanlah seorang
putri yang begitu cantik hingga seorang pangeran dari negeri seberang yang
datang untuk menguasai kerajaan terjatuh pada lututnya, kehilangan semua alasan
dan logika sebelum ia datang, ia yang baru membunuh separuh isi kerajaan dengan
satu tujuan, tunduk pada kecantikan Rara Jonggrang. Melupakan segalanya, bahkan
bahwa ia baru saja membunuh ayahnya, dengan darah yang barangkali belum diseka,
ia meminta kepadanya untuk bersedia menjadi istrinya. Menjadi perempuan yang
akan berbagi ranjang dan kerajaan dengannya.
Bayangkanlah, seorang
putri yang begitu cantik menghadapi pembunuh ayahnya yang berlutut dihadapannya
dengan wajah memerah. Dengan adrenalin yang memompa dalam darahnya lebih deras
daripada ketika ia bertarung dalam perang yang mempertaruhkan nyawa. Ia berada
di sana, menawarkan separuh ranjangnya dan separuh kerajaannya.
Lelaki itu telah membunuh
ayahnya. Ia tahu itu. Ia membunuh ayahnya, raksasa pemakan manusia yang telah
memerintah kerajaannya dengan semena-mena. Ia juga tahu itu. Ia telah sejak
lama tahu, siapa penguasa di kerajaannya dengan rakyat yang dengan takut-takut
berdoa kepada dewa agar anaknya tidak terpilih sebagai persembahan untuk sang
raja pemakan manusia dan siapa penguasa kerajaan tetangganya yang begitu makmur
dengan rakyatnya yang berbahagia.
Tapi ia tidak bisa
menjawabnya saat itu juga. Tidak dengan semua mata yang memandang kepada mereka
berdua, tidak percaya atas apa yang terjadi dan tidak mampu menebak apa yang
akan terjadi. Mata kawan dan lawan menyorot sama tajam. Akankah Rara menjadi
pengkhianat dengan menerima penjajah yang baru saja membunuh raja mereka atau
akankah ia mati dengan memegang harga diri dengan menolak.
Ia menimbang-nimbang,
kejadian yang telah terjadi begitu cepat dan ia belum memahami apa yang ia
rasakan. Apakah ia sedang berduka atas kehilangan ayahnya ataukah kehilangan
rakyat dan tentaranya dalam peperangan? Apakah ia akan berkhianat dengan
menerima pinangan lelaki yang telah membunuh ayahnya ataukah menyelamatkan
nyawa rakyat yang kini kehilangan penguasanya?
Rara berpikir cepat. Ia
membutuhkan waktu. Ia memberi syarat.
Buatkan aku seribu candi dalam semalam.
Karena ia tahu, lelaki
itu tidak akan mampu. Maka setelahnya, ia bisa bicara. Dengan posisi sama
tinggi, ia sebagai putri dari kerajaan yang telah kalah, dan Bandawasa sebagai
pangeran yang telah kalah pada syaratnya.
Ia akan memiliki sepanjang
malam untuk membuat keputusan.
Seluruh istana gempar
mendengar kabar atas apa yang terjadi di sebuah ruang istana tempat Rara
bertemu Bandawasa yang bertekuk lutut meminangnya. Peperangan tertangguhkan. Petinggi
dan prajurit kedua kerajaan kehilangan kata-kata, tidak ada yang bisa menebak
hal ini akan terjadi. Mereka bersinggungan dengan tegang dan canggung, tidak
tahu apa mereka akan menjadi kesatuan saat pagi datang ataukah pembunuhan.
Penyelesaian dari invasi yang hampir selesai.
Rara jonggrang kembali ke
kamarnya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan atau muntahkan. Ia menyuruh
seluruh dayang keluar dari kamarnya. Ia berdiri kosong dalam kesendiriannya.
Tidak ada air mata yang tumpah. Ia menoleh ke jendela kamarnya yang masih
terbuka, walau malam telah mulai jatuh. Ia bergerak kesana, melihat langit
dengan bulannya yang purnama dan bertanya pada dewa.
Apa yang harus kulakukan?
Dari kejauhan suara
gemuruh terdengar samar, ia melihat api-api kecil bermunculan pada satu titik
di kejauhan sebelah utara. Suara yang terdengar semakin ramai dengan cangkul,
palu, pemotong batu. Dari kejauhan ia telah sadar, Bandawasa sedang menjalankan
syaratnya. Ia menutup jendela agar kedap, dan dalam kamarnya yang gelap ia
menyadari, ia tak akan mampu membuat keputusan malam ini.
Tidak ada yang tidur
malam itu. Tidak seorangpun dari kerajaan Pengging dan Prambanan. Diam-diam
mereka mendengarkan bising konstruksi candi yang sedang dikerjakan. Yang akan
menentukan apa yang akan terjadi saat pagi hari datang.
Rara dan Bandawasa tidak
terkecuali. Mereka saling memikirkan satu sama lain dengan keresahan. Bandawasa
yang resah jika seribu candi tidak selesai, Rara Jonggrang yang resah jika
seribu candi selesai.
Rara mengambil jubah gelap
dari lemarinya, ia memutuskan untuk pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ada
kesunyian yang janggal dalam istananya, tapi ia telah menguatkan hati. Ia akan
memastikan apakah Bandawasa akan mampu menyelesaikan seribu candi. Ia yakin hal
itu mustahil, tapi Bandawasa telah mengalahkan ayahnya yang selama ini ia pikir
juga adalah hal mustahil.
Ia berdiri pada ujung
bukit paling utara di luar istananya, menatap kumpulan api-api kecil penerangan
pembangunan kompleks candi di bawahnya. Betapa ia terkejut saat melihat
benda-benda bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, suara gemuruh samar
yang ia telah dengar saat malam baru jatuh adalah suara dari pekerja candi yang
tidak terlihat wujudnya. Bukan prajurit, bukan manusia.
Tangan Rara bergerak
tanpa sadar menyentuh dadanya, merasakan gemuruhnya. Jantungnya berdetak
kencang, saat itu juga ia telah tahu. Seribu candi akan selesai dalam semalam.
Ia melihat Bandawasa yang
berdiri bersedekap pada tumpukan batu yang tinggi, mengawasi pembangunan dengan
raut cemas. Ia melihat lelaki itu, yang gagah dan sakti. Ia teringat saat ia
berlutut di depannya dengan wajah kemerahan, ia tahu betapa tulusnya. Ia tahu
betapa ia telah berusaha walau syarat yang ia berikan bukan untuk diselesaikan.
Ia tahu lelaki itu begitu menginginkannya. Ia tidak meragukannya.
Tapi ia adalah lelaki
yang telah membunuh ayahnya. Dan anak perempuan mana yang mampu menikah dengan
pembunuh ayahnya? Ia khawatir hal itu akan menciptakan petaka. Dan apa yang
akan diucapkan semua orang tentangnya? Pengkhianat yang memilih nyawa daripada
kehormatan keluarga dan kerajaannya. Walau ia tahu ini bukan hanya perkara
nyawa melainkan kekuasaan dan kesejahteraan rakyat kerajaannya.
Tapi Rara melihat lelaki
itu, ia tidak tahu apa ia membencinya atau tidak. Barangkali tidak. Ia
berharap, andai mereka bertemu dalam keadaan yang sama sekali lain. Ia berulang
kali mempertanyakan satu hal.
Apakah aku siap menjadi istri lelaki itu dan berada di
sisinya untuk sepanjang sisa hidupku?
Ia tidak tahu jawabannya.
Suara lain mulai muncul di kepalanya.
Aku bisa membunuhnya untuk membalaskan dendam ayahku jika
aku menjadi istrinya.
Tapi rautnya berubah
sedih.
Aku bukan seorang pembunuh. Dunia ini tidak butuh lebih
banyak pembunuhan.
Dan satu candi telah
selesai terbangun lagi.
Rara mengerjapkan
matanya, merasakan sebutir mutiara bening miliknya jatuh dan pecah di pipinya
yang pucat memantulkan cahaya bulan purnama. Barangkali saat itu Bandawasa
merasakan kehadirannya dan menoleh ke arahnya. Seorang gadis tercantik yang
pernah ia temui dalam jubah gelap yang berusaha menutupi. Tapi kulitnya memantulkan
cahaya bulan purnama dan keindahannya tak bisa ditutupi dengan selembar kain
berwarna gelap.
Rara memalingkan wajah,
ia tak mampu membuat keputusan. Ia memandang bulan yang telah condong sedang
menyaksikan apa yang terjadi.
Aku butuh lebih banyak waktu.
Ia akan membuat pagi
lebih cepat datang. Ia berbalik dan bergegas membangunkan para perempuan dan
dayang istana untuk membakar jerami di timur agar langit terang kemerahan dan
menyuruh mereka menumbuk padi agar seolah pagi telah datang.
Ia ingin seperti
rencananya kemarin, pagi ini mereka akan bicara. Ia akan memberi sebuah syarat
yang lain, yang akan selesai dalam seminggu. Ia ingin memiliki seminggu untuk
membuat keputusan.
Suara gemuruh terdengar
lagi, bersamaan dengan padamnya api-api dikejauhan tempat candi-candi sedang
dibangun. Meninggalkan tempat itu sepi dalam sekejap, suara bising konstruksi
berhenti mendadak.
Tapi langit baru terang
setelah keheningan berlangsung cukup lama, bersamaan dengan suara bisik-bisik
semua orang dalam kerajaan itu yang menerka-nerka masa depan mereka. Rara
datang ke kompleks pembangunan candi diiringi dayang-dayang yang telah membakar
jerami dan menumbuk padi.
Bandawasa sedang berdiri
di batu tinggi tempat ia menemukannya semalam. Matanya merah karena amarah. Ia
merasa ditipu selama ia menunggu langit yang tak kunjung terang.
Rara datang untuk bicara,
ia meminta dayangnya berhenti sementara ia ingin menghampiri Bandawasa sendiri.
“Aku telah menyelesaikan
sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi,” katanya.
Semua orang yang mampu
mendengar ucapan Bandawasa yang lantang langsung ramai berbisik riuh. Mereka
kini telah tahu keadaannya. Bandawasa telah gagal.
“Aku tahu,” kata Rara.
“Tentu,” kata Bandawasa, “karena
kau yang telah menggagalkannya.”
Dengan suara yang lebih
pelan Rara berkata, “aku tahu. Kita akan bicara.”
Bandawasa berang
mendengarnya, “tidak ada yang perlu dibicarakan dengan penipu.”
Rara menatapnya, dengan
tatapan yang sama yang ia telah lihat semalam. Tatapan yang telah membuatnya
merasa gadis itu barangkali mencintainya seperti ia mencintai gadis itu.
Tatapan yang telah menghilangkan raut cemasnya semalam. Tapi ternyata ia
menemukan gadis itu telah menipunya dengan menciptakan suasana seolah pagi
telah datang. Membuat jin dan makhluk halus yang tengah membangun candi
berhenti meninggalkannya dengan candi keseribu yang baru terbangun kurang dari
setengah. Candi terakhir yang telah ia minta agar menjadi yang terbagus dan
terbesar, yang akan ia persembahkan untuk Rara dengan bangga.
Kau tidak mengerti, kata
Rara dalam kata yang tidak mampu terlontar dari bibirnya.
Air matanya telah jatuh
lagi seperti semalam, setitik basah yang membuat Bandawasa semakin berang. Ia
kembali teringat semalam, kekecewaannya saat ia mengetahui yang menggagalkannya
dari syarat membangun seribu candi adalah Rara Jonggrang sendiri. Gadis itu telah
membuat usahanya sepanjang malam menjadi bahan tertawaan semua yang datang pagi
ini. Gadis itu tidak menginginkan pernikahan dengannya. Ia hanya mencari cara
untuk menolaknya.
Maka dalam kemarahan dan
kekalutan perasaan yang ia tidak pahami antara kekecewaan atas penolakan, rasa
malu telah jatuh kedalam tipuan membangun seribu candi, kegagalannya yang ia
tidak bisa terima ia dengan lantang mengutuk Rara Jonggrang.
“Jika kau tidak ingin
menjadi istriku maka jadilah bagian dari candi keseribu yang telah menjadi
syaratmu namun kau ingkari.”
Maka Rara Jonggrang menjelma
arca batu yang membeku dalam candi ke seribu.
*
Barangkali, pada
malam-malam tertentu saat Bandawasa melihat bulan sedang penuh purnama, ia
mengunjungi candi keseribu dengan arca Rara Jonggrang di dalamnya yang berkilau
merah. Merasakan rasa pahit di lidahnya, saat ia menyadari amarahnya telah membekukan
gadis yang ia cintai ke dalam bukti cintanya yang ia bangun dengan jantung begitu
berdetak, dengan semangat dan cemas, tak sabar menunggu pagi untuk mempersembahkannya
dengan lantang dan bangga.
Barangkali, ia tahu rasa pahit
itu tidak berasal dari lidahnya melainkan satu sudut dihatinya saat ia menatap ironi
yang telah terbangun megah.
0 comments: