Rara Jonggrang - Gadis malang yang tidak bisa memutuskan

1:04 AM Klenting Kinara 0 Comments



Ada sesuatu dengan kisah rakyat. Ia selalu menggelitikku. Ada kedalaman berbeda setiap kali aku membaca kisah rakyat, ada interpretasi yang berubah-ubah seiring juga perubahan diriku yang bertumbuh. Tapi ada satu kisah yang begitu dekat denganku daripada yang lain. Ialah kisah Rara Jonggrang.

Rara Jonggrang adalah cerita rakyat yang sudah tak asing bagi penduduk jawa. Namun aku tidak mengenalnya sebagai cerita rakyat. Aku mengenalnya sebagai bagian dari masa laluku.

Aku tumbuh dengan sebuah dongeng yang bersinggungan, bahwa pada suatu titik dalam hidupku saat aku masih bayi yang sehat dengan pipi montok yang merona kemerahan dengan wangi susu masih menempel, orangtuaku membawaku ke candi prambanan untuk wisata.

Ada sebuah foto yang masih kusimpan, saat aku yang masih bayi digendong oleh ibuku dengan sebuah arca patung perempuan di belakangku yang kukenal sebagai Rara Jonggrang.

Adalah kebetulan bagi mereka yang tidak percaya dan adalah kemungkinan bagi mereka yang percaya, tapi aku yang bayi langsung jatuh sakit malam itu hingga rencana wisata dihentikan di tengah. Kami pulang dengan kecemasan di hati kedua orangtuaku. Aku yang bayi tidak kunjung sembuh hingga lebih dari seminggu, berat tubuhku berkurang hingga lebih setengahnya, hingga hilang pipi montok dengan rona kemerahan yang semula menghiasinya.

Orang yang memiliki kepekaan batin menyampaikan pada ibuku bahwa Rara Jonggrang menginginkanku sehingga ia ingin menarikku berpindah dunia. Namun seorang dukun menghentikannya. Sakitku sembuh, tapi aku tidak pernah sesehat sebelumnya.

Tapi kalimat itu tertinggal padaku, Rara Jonggrang menginginkanku.

Ada kedekatan yang aneh bagiku dan dongeng Rara Jonggrang. Betapa sedih, ketika aku mendengar cerita tentangnya, bahwa ia dikutuk menjadi arca karena telah menipu seorang pangeran bernama Bandawasa. Ia dihukum karena menipu, sementara jarang diceritakan betapa Bandawasa telah membunuh Ayah Rara Jonggrang sebelum ia datang, di atas darah Ayahnya dan darah peperangan yang dimenangkannya, ia datang melamar Rara Jonggrang untuk memperistrinya.

Jika kau seorang Rara Jonggrang apa yang akan kau lakukan?

*

Kisah rakyat yang sering diceritakan berulang adalah tentang Bandawasa meminta Rara Jonggrang agar mau menjadi istrinya. Rara Jonggrang yang tidak ingin menikah dengan Bandawasa memberi syarat yang mustahil kepada Bandawasa untuk membuatkannya seribu candi dalam semalam. Bandawasa dengan dibantu oleh tenaga jin berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilah puluh sembilan candi, dan pada proses membangun ke seribu Rara Jonggrang melancarkan rencana untuk menggagalkannya. Ia menyuruh seluruh dayang untuk membakar jerami di timur agar langit kemerahan dan menumbuk padi agar ayam mulai berkokok.

Para jin yang melihat langit mulai terang dan ayam mulai berkokok berpikir pagi telah datang dan pergi meninggalkan candi yang keseribu tidak selesai terbangun. Bandawasa yang menyadari langit tak kunjung cerah menyadari bahwa hari belum benar-benar pagi dan cahaya kemerahan di timur hanyalah jerami yang dibakar merasa telah tertipu.

Ia mengutuk Rara Jonggrang dan menjadikannya arca di dalam candi keseribu.

Tapi barangkali, dalam bayanganku, Rara Jonggrang bukanlah membikin syarat untuk menipu. Ia memberi syarat untuk memberi waktu. Karena ia belum bisa memutuskan.

***

Bayangkanlah seorang putri yang begitu cantik hingga seorang pangeran dari negeri seberang yang datang untuk menguasai kerajaan terjatuh pada lututnya, kehilangan semua alasan dan logika sebelum ia datang, ia yang baru membunuh separuh isi kerajaan dengan satu tujuan, tunduk pada kecantikan Rara Jonggrang. Melupakan segalanya, bahkan bahwa ia baru saja membunuh ayahnya, dengan darah yang barangkali belum diseka, ia meminta kepadanya untuk bersedia menjadi istrinya. Menjadi perempuan yang akan berbagi ranjang dan kerajaan dengannya.

Bayangkanlah, seorang putri yang begitu cantik menghadapi pembunuh ayahnya yang berlutut dihadapannya dengan wajah memerah. Dengan adrenalin yang memompa dalam darahnya lebih deras daripada ketika ia bertarung dalam perang yang mempertaruhkan nyawa. Ia berada di sana, menawarkan separuh ranjangnya dan separuh kerajaannya.

Lelaki itu telah membunuh ayahnya. Ia tahu itu. Ia membunuh ayahnya, raksasa pemakan manusia yang telah memerintah kerajaannya dengan semena-mena. Ia juga tahu itu. Ia telah sejak lama tahu, siapa penguasa di kerajaannya dengan rakyat yang dengan takut-takut berdoa kepada dewa agar anaknya tidak terpilih sebagai persembahan untuk sang raja pemakan manusia dan siapa penguasa kerajaan tetangganya yang begitu makmur dengan rakyatnya yang berbahagia.

Tapi ia tidak bisa menjawabnya saat itu juga. Tidak dengan semua mata yang memandang kepada mereka berdua, tidak percaya atas apa yang terjadi dan tidak mampu menebak apa yang akan terjadi. Mata kawan dan lawan menyorot sama tajam. Akankah Rara menjadi pengkhianat dengan menerima penjajah yang baru saja membunuh raja mereka atau akankah ia mati dengan memegang harga diri dengan menolak.

Ia menimbang-nimbang, kejadian yang telah terjadi begitu cepat dan ia belum memahami apa yang ia rasakan. Apakah ia sedang berduka atas kehilangan ayahnya ataukah kehilangan rakyat dan tentaranya dalam peperangan? Apakah ia akan berkhianat dengan menerima pinangan lelaki yang telah membunuh ayahnya ataukah menyelamatkan nyawa rakyat yang kini kehilangan penguasanya?

Rara berpikir cepat. Ia membutuhkan waktu. Ia memberi syarat.

Buatkan aku seribu candi dalam semalam.

Karena ia tahu, lelaki itu tidak akan mampu. Maka setelahnya, ia bisa bicara. Dengan posisi sama tinggi, ia sebagai putri dari kerajaan yang telah kalah, dan Bandawasa sebagai pangeran yang telah kalah pada syaratnya.

Ia akan memiliki sepanjang malam untuk membuat keputusan.

Seluruh istana gempar mendengar kabar atas apa yang terjadi di sebuah ruang istana tempat Rara bertemu Bandawasa yang bertekuk lutut meminangnya. Peperangan tertangguhkan. Petinggi dan prajurit kedua kerajaan kehilangan kata-kata, tidak ada yang bisa menebak hal ini akan terjadi. Mereka bersinggungan dengan tegang dan canggung, tidak tahu apa mereka akan menjadi kesatuan saat pagi datang ataukah pembunuhan. Penyelesaian dari invasi yang hampir selesai.

Rara jonggrang kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan atau muntahkan. Ia menyuruh seluruh dayang keluar dari kamarnya. Ia berdiri kosong dalam kesendiriannya. Tidak ada air mata yang tumpah. Ia menoleh ke jendela kamarnya yang masih terbuka, walau malam telah mulai jatuh. Ia bergerak kesana, melihat langit dengan bulannya yang purnama dan bertanya pada dewa.

Apa yang harus kulakukan?

Dari kejauhan suara gemuruh terdengar samar, ia melihat api-api kecil bermunculan pada satu titik di kejauhan sebelah utara. Suara yang terdengar semakin ramai dengan cangkul, palu, pemotong batu. Dari kejauhan ia telah sadar, Bandawasa sedang menjalankan syaratnya. Ia menutup jendela agar kedap, dan dalam kamarnya yang gelap ia menyadari, ia tak akan mampu membuat keputusan malam ini.

Tidak ada yang tidur malam itu. Tidak seorangpun dari kerajaan Pengging dan Prambanan. Diam-diam mereka mendengarkan bising konstruksi candi yang sedang dikerjakan. Yang akan menentukan apa yang akan terjadi saat pagi hari datang.

Rara dan Bandawasa tidak terkecuali. Mereka saling memikirkan satu sama lain dengan keresahan. Bandawasa yang resah jika seribu candi tidak selesai, Rara Jonggrang yang resah jika seribu candi selesai.

Rara mengambil jubah gelap dari lemarinya, ia memutuskan untuk pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ada kesunyian yang janggal dalam istananya, tapi ia telah menguatkan hati. Ia akan memastikan apakah Bandawasa akan mampu menyelesaikan seribu candi. Ia yakin hal itu mustahil, tapi Bandawasa telah mengalahkan ayahnya yang selama ini ia pikir juga adalah hal mustahil.

Ia berdiri pada ujung bukit paling utara di luar istananya, menatap kumpulan api-api kecil penerangan pembangunan kompleks candi di bawahnya. Betapa ia terkejut saat melihat benda-benda bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, suara gemuruh samar yang ia telah dengar saat malam baru jatuh adalah suara dari pekerja candi yang tidak terlihat wujudnya. Bukan prajurit, bukan manusia.

Tangan Rara bergerak tanpa sadar menyentuh dadanya, merasakan gemuruhnya. Jantungnya berdetak kencang, saat itu juga ia telah tahu. Seribu candi akan selesai dalam semalam.

Ia melihat Bandawasa yang berdiri bersedekap pada tumpukan batu yang tinggi, mengawasi pembangunan dengan raut cemas. Ia melihat lelaki itu, yang gagah dan sakti. Ia teringat saat ia berlutut di depannya dengan wajah kemerahan, ia tahu betapa tulusnya. Ia tahu betapa ia telah berusaha walau syarat yang ia berikan bukan untuk diselesaikan. Ia tahu lelaki itu begitu menginginkannya. Ia tidak meragukannya.

Tapi ia adalah lelaki yang telah membunuh ayahnya. Dan anak perempuan mana yang mampu menikah dengan pembunuh ayahnya? Ia khawatir hal itu akan menciptakan petaka. Dan apa yang akan diucapkan semua orang tentangnya? Pengkhianat yang memilih nyawa daripada kehormatan keluarga dan kerajaannya. Walau ia tahu ini bukan hanya perkara nyawa melainkan kekuasaan dan kesejahteraan rakyat kerajaannya.

Tapi Rara melihat lelaki itu, ia tidak tahu apa ia membencinya atau tidak. Barangkali tidak. Ia berharap, andai mereka bertemu dalam keadaan yang sama sekali lain. Ia berulang kali mempertanyakan satu hal.

Apakah aku siap menjadi istri lelaki itu dan berada di sisinya untuk sepanjang sisa hidupku?

Ia tidak tahu jawabannya. Suara lain mulai muncul di kepalanya.

Aku bisa membunuhnya untuk membalaskan dendam ayahku jika aku menjadi istrinya.

Tapi rautnya berubah sedih.

Aku bukan seorang pembunuh. Dunia ini tidak butuh lebih banyak pembunuhan.

Dan satu candi telah selesai terbangun lagi.

Rara mengerjapkan matanya, merasakan sebutir mutiara bening miliknya jatuh dan pecah di pipinya yang pucat memantulkan cahaya bulan purnama. Barangkali saat itu Bandawasa merasakan kehadirannya dan menoleh ke arahnya. Seorang gadis tercantik yang pernah ia temui dalam jubah gelap yang berusaha menutupi. Tapi kulitnya memantulkan cahaya bulan purnama dan keindahannya tak bisa ditutupi dengan selembar kain berwarna gelap.

Rara memalingkan wajah, ia tak mampu membuat keputusan. Ia memandang bulan yang telah condong sedang menyaksikan apa yang terjadi.

Aku butuh lebih banyak waktu.

Ia akan membuat pagi lebih cepat datang. Ia berbalik dan bergegas membangunkan para perempuan dan dayang istana untuk membakar jerami di timur agar langit terang kemerahan dan menyuruh mereka menumbuk padi agar seolah pagi telah datang.

Ia ingin seperti rencananya kemarin, pagi ini mereka akan bicara. Ia akan memberi sebuah syarat yang lain, yang akan selesai dalam seminggu. Ia ingin memiliki seminggu untuk membuat keputusan.

Suara gemuruh terdengar lagi, bersamaan dengan padamnya api-api dikejauhan tempat candi-candi sedang dibangun. Meninggalkan tempat itu sepi dalam sekejap, suara bising konstruksi berhenti mendadak.

Tapi langit baru terang setelah keheningan berlangsung cukup lama, bersamaan dengan suara bisik-bisik semua orang dalam kerajaan itu yang menerka-nerka masa depan mereka. Rara datang ke kompleks pembangunan candi diiringi dayang-dayang yang telah membakar jerami dan menumbuk padi.

Bandawasa sedang berdiri di batu tinggi tempat ia menemukannya semalam. Matanya merah karena amarah. Ia merasa ditipu selama ia menunggu langit yang tak kunjung terang.
Rara datang untuk bicara, ia meminta dayangnya berhenti sementara ia ingin menghampiri Bandawasa sendiri.

“Aku telah menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi,” katanya.

Semua orang yang mampu mendengar ucapan Bandawasa yang lantang langsung ramai berbisik riuh. Mereka kini telah tahu keadaannya. Bandawasa telah gagal.

“Aku tahu,” kata Rara.

“Tentu,” kata Bandawasa, “karena kau yang telah menggagalkannya.”

Dengan suara yang lebih pelan Rara berkata, “aku tahu. Kita akan bicara.”

Bandawasa berang mendengarnya, “tidak ada yang perlu dibicarakan dengan penipu.”

Rara menatapnya, dengan tatapan yang sama yang ia telah lihat semalam. Tatapan yang telah membuatnya merasa gadis itu barangkali mencintainya seperti ia mencintai gadis itu. Tatapan yang telah menghilangkan raut cemasnya semalam. Tapi ternyata ia menemukan gadis itu telah menipunya dengan menciptakan suasana seolah pagi telah datang. Membuat jin dan makhluk halus yang tengah membangun candi berhenti meninggalkannya dengan candi keseribu yang baru terbangun kurang dari setengah. Candi terakhir yang telah ia minta agar menjadi yang terbagus dan terbesar, yang akan ia persembahkan untuk Rara dengan bangga.

Kau tidak mengerti, kata Rara dalam kata yang tidak mampu terlontar dari bibirnya.

Air matanya telah jatuh lagi seperti semalam, setitik basah yang membuat Bandawasa semakin berang. Ia kembali teringat semalam, kekecewaannya saat ia mengetahui yang menggagalkannya dari syarat membangun seribu candi adalah Rara Jonggrang sendiri. Gadis itu telah membuat usahanya sepanjang malam menjadi bahan tertawaan semua yang datang pagi ini. Gadis itu tidak menginginkan pernikahan dengannya. Ia hanya mencari cara untuk menolaknya.

Maka dalam kemarahan dan kekalutan perasaan yang ia tidak pahami antara kekecewaan atas penolakan, rasa malu telah jatuh kedalam tipuan membangun seribu candi, kegagalannya yang ia tidak bisa terima ia dengan lantang mengutuk Rara Jonggrang.

“Jika kau tidak ingin menjadi istriku maka jadilah bagian dari candi keseribu yang telah menjadi syaratmu namun kau ingkari.”

Maka Rara Jonggrang menjelma arca batu yang membeku dalam candi ke seribu.

*

Barangkali, pada malam-malam tertentu saat Bandawasa melihat bulan sedang penuh purnama, ia mengunjungi candi keseribu dengan arca Rara Jonggrang di dalamnya yang berkilau merah. Merasakan rasa pahit di lidahnya, saat ia menyadari amarahnya telah membekukan gadis yang ia cintai ke dalam bukti cintanya yang ia bangun dengan jantung begitu berdetak, dengan semangat dan cemas, tak sabar menunggu pagi untuk mempersembahkannya dengan lantang dan bangga.


Barangkali, ia tahu rasa pahit itu tidak berasal dari lidahnya melainkan satu sudut dihatinya saat ia menatap ironi yang telah terbangun megah.

0 comments: