Hujan di Hutan Hujan

12:54 PM Klenting Kinara 0 Comments

Apa #AwesomeJourney menurutmu?
Ayahku pernah berkata, “perjalanan seorang diri adalah tentang dirimu dan dunia. Perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”
Aku tidak pernah begitu paham apa yang ia maksudkan hingga kemudian ia meninggal dunia pada umurku yang ke delapan belas.

--

“Kau sudah siap, Amira?”
Aku mengikat tali sepatuku dan bangkit berdiri, mengibaskan rok biru tua yang kukenakan agar rapih kembali. Lalu bergegas keluar rumah menghampiri Ayahku yang telah siap di atas motornya. Aku akan melompat naik ke jok di belakangnya dan berkata, “iya, yuk jalan.”
Kami akan kemudian bergegas melewati jalan raya yang telah padat dengan kendaraan pukul setengah tujuh.
Ayahku adalah pegawai kantoran biasa, ia kerja dari pukul sembilan hingga pukul lima sore setiap harinya. Tapi ia selalu datang lebih awal, karena ia harus mengantarku ke sekolah sebelum jam tujuh. Ia akan menghabiskan waktu dengan membaca koran pagi atau, kesukaannya, mencari tahu lokasi mana lagi yang akan ia dan aku kunjungi saat ada libur sedikit panjang.
Ayahku memang pegawai kantoran biasa, tapi saat libur datang ia menjelma bocah petualang. Aku selalu bisa melihat kilat vitalitas pada matanya yang biasanya tenang dan teduh, senyum lebar kekanakan pada wajahnya yang biasanya sopan dan bersahaja saat ia mulai menjelaskan rencana-rencana perjalanan. Itu berarti, libur telah dekat dan rencananya sudah hampir lengkap. Ia menjadi semangat sekaligus tidak sabar untuk segera menjejakkan kaki ke alam bebas lagi; memulai petualangan. Aku akan sering mendengarnya bersiul.
Itu adalah Ayah yang aku sukai.
Tapi pelan-pelan aku memahami, Ibu tidak terlalu menyukai Ayah yang seperti itu. Ibu sering menyebutnya kekanakkan dan tidak berpikiran panjang. Ibu inginkan Ayah yang fokus dengan pekerjaannya agar naik karirnya, atau menghabiskan waktu luang untuk usaha sampingan agar tabungan keluarga bisa sedikit lebih gendut.
Mereka tentu tidak pernah terang-terangan bertengkar di depanku, tapi aku tahu Ayah sering diam-diam menggunakan uang dari tabungan untuk sumbangan-sumbangan dan Ibu tidak senang. Sekali waktu barangkali Ibu sudah benar-benar kesal maka di meja makan mereka bersitegang.
Kata Ibu, “kamu seharusnya menghasilkan uang buat keluarga, bukan menggunakan uang keluarga untuk sumbangan tidak jelas.”
Kata Ayah, “tapi Ayah jelas loh Bu, Ayah memberi sumbangan untuk kampanye perlindungan hutan hujan. Mereka ini kan kasihan sekali, orang-orang yang bekerja di lapangan menentang pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit kalau tidak kita bantu.”
Kata Ibu, “biarlah mereka urus urusan mereka dan kita urus urusan kita sendiri.”
Ayah diam sebentar sebelum berkata, “jika semua manusia hanya peduli urusan diri sendiri, dimanakah kemanusiaan? Bahkan manusia telah hilang kemanusiaan pada bukan manusia. Yang hidup di bumi ini bukan hanya manusia, binatang dan tumbuhan juga hidup dan punya nama. Apa kita tak harus menolong mereka yang hidup namun tak mampu bicara?”
Ibu kemudian menatap tajam ke Ayah sebelum membalas ketus, “jika kau ingin menjadi Tuhan semesta maka jadilah, ada alasan Tuhan tidak punya istri dan anak!”
Ibu mengangkat piringnya yang belum habis setengahnya ke dapur dan mencucinya. Beberapa lama setelah itu mereka tidak lagi tinggal bersama.
Ibu menyampaikan ia dapat pekerjaan di kota lain sehingga ia dan si bungsu akan pindah sementara aku tetap bersama Ayah karena Ibu tidak ingin aku pindah sekolah dan bingung.
Diam-diam aku mengakui bahwa jika diberikan pilihan aku memang lebih ingin bersama Ayah.

--

Aku pernah bertemu dengan macan kumbang.
Kau tidak akan percaya seperti hampir semua temanku tidak percaya saat kuceritakan. Karena sesuatu yang sulit dipercaya membuat manusia ingin untuk tidak percaya sama sekali.
Tapi kuceritakan padamu bahwa keajaiban alam benar terjadi, dan ia terjadi pada mereka yang percaya.
Saat itu adalah petualangan aku dan Ayah pada salah satu hari libur yang agak panjang karena ada tanggal merah pada hari Selasa. Ayah mengambil cuti di hari Senin dan ia menuliskan surat izin untuk dikirim ke sekolahku dari hari Jum’at.
Tepatnya Senin itulah, saat hujan jatuh dengan deras sepanjang sore di kaki Gunung Gede Pangrango, aku dan Ayah terjebak dalam tenda kami pada daerah terbuka dengan tanah agak lebih tinggi dari sekitarnya. Barangkali aku tampak ketakutan atas suara hujan yang menampar-nampar tenda atau barangkali aku takut tenda kami akan segera terendam.
Maka Ayah mengajakku yang sedang menggigiti kuku sambil memandang melalui jendela plastik di sisi tenda ke arah hujan untuk berbaring di sisinya. Ia memberi gestur agar aku merebahkan kepala di bahunya sementara ia memelukku. Harum dari detergen yang masih menempel samar di jaket parasutnya bercampur dengan bau lembab yang telah menjadi khas menenangkanku.
Lalu ia berkata, “dengarlah, hutan sedang berbicara.”
Aku tertegun.
Aku tidak pernah berpikir bahwa hujan adalah cara hutan berbicara. Ini hutan hujan! Lalu aku tertegun lagi. Bukankah ada alasan kenapa hutan dan hujan hanya berbeda satu huruf?
Aku mendengar Ayahku tertawa kecil yang khas saat ia sedang berada di alam liar, tawa renyah yang menunjukkan ia sedang merasa terbebas dan bahagia. Walaupun hujan sedang jatuh mengguyur deras.
Ia kemudian bercerita:
“Kau tahu, aku jatuh cinta pada alam dua puluh tahun lalu karena hujan di hutan hujan. Ia menggentarkanku. Ia menyadarkanku betapa kecil manusia dibandingkan dengan alam. Betapa tidak berdayanya. Seperti hujan yang merupakan salah satu bagian dari siklus air yang mengalir terus hingga ke laut yang kemudian menguap menjadi awan dan jatuh lagi seperti sekarang.
Kita manusia hanyalah salah satu spesies dari ekosistem alam yang lebih besar. Kehidupan berputar. Dari tanaman yang memberi makan binatang, binatang yang kita makan, hingga nanti kita mati memberi makan binatang pengurai, untuk kemudian diserap kembali oleh tanaman.
Hidup mengalir sebagai siklus yang tak putus, berputar terus menggelinding dalam waktu yang membentang lurus seperti jalan yang mulus.
Lalu kemudian aku tersadar, bagaimana jika rantai yang membentuk siklus putus? Bagaimana jika ekosistem tak lagi membentuk roda yang mampu menggelinding? Bukankah kehidupan akan mati seluruhnya?
Tidak ada satu bagian yang lebih penting dari yang lain.
Kita manusia, yang berakal dan berkuasa, sesungguhnya tidak lebih penting dari cacing tanah yang menggemburkan tanah. Atau bakteri dan jamur yang tidak terlihat mata.
Bukankah kenyataan ini jauh lebih menggentarkan daripada sekedar hujan yang menampar-nampar?”
Aku terdiam di tempatku mendengarkan dan membayangkan seluruh perkataan Ayahku, menatap atap tenda yang bergetar karena hujan yang jatuh deras. Ia mulai terdengar ritmis dan melodis, tidak lagi menakutkan seperti sebelumnya. Aku membayangkan hujan adalah nyanyian alam yang sedang berseru mengagung-agungkan kemegahan alam. Aku membayangkan pohon-pohon dan tanaman sedang tersenyum senang dan menengadahkan dirinya menyambut hujan yang jatuh berkejaran.
Ayah tampaknya menyadari perubahan perasaanku karena ia mengelus lembut pucuk kepalaku sambil berkata, barangkali sambil tersenyum, “itu adalah awal perkenalanku dengan alam. Tapi yang lebih penting, kau akan terkejut menyadari betapa banyak yang bisa alam ajarkan padamu. Dari dua puluh tahun yang lalu hingga sekarang, setiap kali aku ke alam selalu ada hal baru yang aku pelajari.”
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya, aku bertanya dengan penasaran, “apa yang Ayah pelajari hari ini?”
Ia tersenyum lebar dari ujung yang satu hingga ujung yang lain.
“Aku belajar bahwa kebahagiaanku adalah memilikimu.”
Aku barangkali hampir menangis karena rasa yang begitu haru. Tapi hujan telah berhenti secara tiba-tiba, seperti ada yang memayungkan langit dengan payung raksasa transparan. Hujan tropis yang jatuh tiba-tiba dan berhenti tiba-tiba, seolah bumi terbangun dari tidur dan hujan yang sejak tadi mengganggunya mendadak takut kena marah.
Aku tertawa kecil. Menyadari aku mulai membayangkan alam seperti mereka hidup dan punya nyawa serta rasa. Mungkin itulah yang alam telah ajarkan padaku saat itu, bahwa mereka hidup dan bernyawa.
Tapi tawaku hilang sama sekali dalam sekejap saat aku membuka ritsleting tenda, karena hujan sudah berhenti dan saatnya kami menghirup udara segar yang lembab sehabis hujan.
Aku bertatapan dengan macan kumbang yang tengah menoleh ke arahku mendengar suara ritsleting dari tenda yang sedang kubuka sebagian. Aku terpaku di tempatku.
Ia berdiri disana, mungkin lima belas meter dari tenda kami, di antara pepohonan tinggi dan semak yang rimbun. Jika bukan karena matanya yang kuning menyala menyorot ke arahku hingga seluruh bulu di tubuhku seolah berdiri, dan ekor hitam panjangnya yang bergerak dengan anggun menandakan makhluk itu hidup dan awas, barangkali aku akan melewatkannya.
Tapi tidak, kau tidak bisa melewatkan seekor macan walau bulunya berwarna hitam dan berada di antara semak. Aku bisa melihat cahaya yang dipantulkan bulunya yang hitam dan basah, mengikuti kontur tubuhnya yang anggun, liat dan pejal.
Aku menyaksikan keindahan yang begitu menakutkan.
Pada detik itu, aku telah pasrah jika macan kumbang itu menyerangku, karena siapa bisa melawan kekuatan hewan kuno yang sedang berjuang melawan kepunahan?
Tapi ia tidak menyerangku, ia kembali meluruskan wajahnya ke depan seolah ia telah memutuskan aku bukanlah lawan. Ia melompat dan dalam sekejap ia menghilang dari pandanganku, menghilang ke dalam semak dan pepohonan tinggi yang cahaya telah jarang.
Aku kembali menarik ritsleting bukaan tenda agar tertutup, lalu aku jatuh terduduk lemas seolah seluruh energi telah merembes habis dari tubuhku. Barangkali aku menggigil sedikit.
Ayah bertanya dengan cemas ada apa dari belakangku, aku menatapnya dengan ekspresi yang bercampur takut, kagum dan ketidakpercayaan, aku menjawab, “aku baru saja melihat seekor macan kumbang.”
Kami akhirnya memutuskan untuk tetap di dalam tenda hingga malam datang dan akhirnya kami keluar untuk kembali menebar garam di sekitar tenda yang telah habis karena hujan deras sebelumnya. Di luar tenda entah kenapa banyak kunang-kunang berkerlap-kerlip, mungkin karena sebelumnya hujan jatuh dengan derasnya. Aku menengadah untuk melihat langit yang begitu cerah karena sudah dicuci bersih oleh hujan, bintang bertebaran seperti lubang-lubang kecil di antara kain hitam yang memisahkan surga dengan dunia.
Malam itu aku seperti terlahir kembali dengan sayap peri hutan di punggungku.
Aku telah menjadi bagian dari hutan hujan dan ia menampakkan rahasia keajaibannya padaku.

--

Siapa yang menyangka, bahwa mataku baru terbuka akan apa yang alam telah simpan untuk diajarkan padaku pada hari dimana ia adalah perjalanan terakhirku dengan Ayahku. Aku telah seringkali ikut Ayahku dalam perjalanan kami menembus hutan. Kami tidak melulu menginginkan untuk mencapai puncak di hutan-hutan pegunungan karena kami tidak berusaha menunjukkan penguasaan kami terhadap hutan dan gunung. Kami mempelajari hal kecil akan kehidupan sederhana dan keindahan dari banyaknya spesies flora dan fauna yang saling hidup dengan harmoni.
Ada kebanggaan padaku sejak dulu, bahwa aku begitu beruntung bisa hidup pada daerah tropis dimana matahari menyorot sepanjang tahun mencipta keindahan yang begitu kompleks. Aku paling senang saat aku dan Ayah berkompetisi dalam mencari tanaman anggrek pada dahan-dahan pohon tinggi—siapa bisa menemukan anggrek lebih banyak. Atau tebak-tebak nama pohon—untuk kemudian nanti di rumah kami akan membuktikan siapa yang menebak benar dengan bantuan internet.
Ada kebanggaan bahwa pelajaran biologiku selalu nomor satu. Ada kebanggaan juga kepada Ayahku, bahwa ia mengenalkanku pada dunia dimana tidak banyak anak seumurku pernah merasakan atau bahkan tahu.
Tapi pada perjalanan kami yang terakhirlah aku sesungguhnya belajar, bahwa alam itu hidup dan mereka bisa mengajarkan. Lalu segalanya menjadi masuk akal, segala ucapan Ayah sebelumnya menjadi lebih jelas dan aku menjadi paham. Tentang seluruh sumbangan-sumbangannya untuk alam dan mengapa ia bersikeras walau harus bertentangan dengan Ibu.
Aku menjadi memahami Ayah seluruhnya karena sebagian dirinya telah menjelma alam dan dengan diriku memahami alam aku memahami Ayah. Maka aku percaya, diriku pun telah sebagian menjelma alam setelah perjalanan kami yang terakhir itu.
Karena setelahnya Ayah jatuh sakit, ia tak lagi mampu dengan aktifitas fisik yang berat seperti berkemah. Kehilangan kemampuan untuk melakukan hal yang telah mengisi hidupnya dan berada di pusat kehidupannya membuat Ayah jauh lebih cepat melemah dan merosot semangat hidupnya hingga akhirnya ia meninggal dua tahun kemudian.
Aku masih melanjutkan kebiasaan kami untuk berkemah setelah kepergian Ayah, kali ini sendirian atau bersama kawan, tapi tidak ada yang terasa sama. Aku menjadi lebih senang sendiri, karena aku merasa bisa menjadi bagian dari alam dengan lebih tenang daripada bersama kawan. Lalu saat itulah aku baru memahami maksud perkataan Ayahku, “perjalanan seorang diri adalah tentang dirimu dan dunia. Perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”
Namun alamlah yang mengajarkanku bahwa dalam perjalanan seorang diri aku bisa memiliki hidup hanya untukku, dunia dan segala isinya; langit, udara, dan semua cahaya. Tapi lalu kemudian, setelah semua keindahan pengalaman yang telah kurasakan dengan segala indera yang aku punya, semua pelajaran yang telah kutarik ilmunya, aku menjadi butuh untuk menyampaikannya pada orang lain yang berbagi kesenangan denganku.
Ialah yang membuat Ayahku begitu bahagia memilikiku.

--

Maka apakah #AwesomeJourney menurutmu?
Untukku, perjalanan terakhirku bersama Ayah adalah sebuah #AwesomeJourney. Ia adalah pengalaman yang jauh lebih besar dari diriku atau sekedar sebuah perjalanan. Ia adalah pengalaman tentang mengenal diriku sendiri, memetakan peran dari alam yang selama ini selalu dekat denganku di dalam hidupku, kebersamaan dengan Ayahku dan ilmu darinya yang pada akhirnya terhantarkan kepadaku, serta keajaiban dari alam yang serta merta terjadi; aku bertemu dengan macan kumbang!
Dan kini, lima tahun sejak Ayahku meninggal, aku berada di tepi danau menatap wajahku yang dipantulkan oleh air dan aku kembali mempelajari sesuatu. Bahwa #AwesomeJourney bisa dihantarkan. Ia dihantarkan padaku oleh Ayahku. Dan sekarang giliranku menghantarkannya pada Ibuku.
Aku akan bergegas pulang dari sini dan membawa Ibu ke hutan hujan agar perasaan Ayah terhantarkan padanya seperti perasaan Ayah terhantarkan padaku.

Karena perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

0 comments: