Cerita dari Negeri Kinara - Ayah

3:20 AM Klenting Kinara 0 Comments

Sesungguhnya, ayahku adalah entitas asing.

Aku tidak terlalu mengenalnya saat aku kecil, tapi aku tahu ia adalah ayahku dan semua orang telah mengajarkan begitu: keluarga adalah orang yang paling dekat denganmu.

Tapi aku tidak dekat dengannya.

Maka ayahku adalah karakter yang asing bagiku, seseorang yang aku pahami sebagai keluarga, tapi tidak aku kenali sebagai keluarga. Aku membangun karakternya berdasarkan cerita-cerita yang aku dengar di sekitarku.

Karena aku tidak benar-benar melihatnya.

Ia pekerja keras. Itu yang aku dengar. Jika aku tidak mendengarnya sedang bekerja, maka aku melihatnya sedang bekerja. Jika aku mengingatnya hal pertama yang terbayang adalah dia di belakang meja kerja dengan suara musik rock klasik mengiringi. Ia akan ikut menyanyi sekali-sekali.

Ia punya ruang kerja sendiri di rumah, ruang yang terlarang untuk anak-anak. Karena anak kecil jarang mengerti hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka ruang itu menjadi terlarang sekalian.

Tapi kadang, pintunya terbuka sebagian. Dan aku bisa melihatnya di belakang meja kerja di kelilingi kertas-kertas dengan suara musik terdengar keras.

Ia jarang melihat ke arahku.

Tapi ia adalah entitas asing yang merupakan ayahku. Maka aku sering penasaran dengannya dan mengintip takut-takut jika ruang kerjanya terbuka sedikit.

Pernah suatu hari, barangkali aku sedang nakal atau berani, aku masuk ke ruangannya saat ia sedang bekerja. Ia tidak marah dan menyuruhku keluar, biasanya ibuku yang melakukannya jika ia melihatku katanya, “jangan ganggu ayahmu bekerja.”

Seolah aku pengganggu.

Maka aku masuk ke ruangannya dan mendekat ke meja kerjanya. Aku ingin tahu apa yang sedang ia kerjakan hingga tubuhku menempel rapat dengan meja, lalu aku merasakan sesuatu di dadaku terasa menyengat. Aku menarik tubuhku dan menyadari ada lubang terbakar di baju bagian dadaku, ada rokok yang diletakkan di pinggir meja dan aku tidak melihatnya.

Aku menangis keras dan ayahku baru teralihkan perhatiannya kepadaku. Ia butuh cukup waktu untuk menyadari apa yang terjadi sebelum membawaku keluar ruang kerja untuk diobati.

Barangkali itu kali terakhir aku masuk ruang kerjanya.

Tapi sesungguhnya, aku senang dengan ayahku. Kadang, pada minggu pagi yang jarang terjadi, ayahku mengajak kami sekeluarga untuk pergi ke kolam renang umum. Aku hanya ingat, di kolam untuk anak-anak ada gambar ikan paus besar di lantai keramik. Jantungku berdebar keras setiap kali berenang melintas. Aku percaya paus itu sedang mengejarku dari bawah dan siap memakan kakiku yang berkecipuk. Aku berenang dengan sangat cepat agar tidak terkejar paus pemakan anak-anak.

Ayahku akan kemudian tersenyum lebar hingga dua baris giginya terlihat, katanya, “kamu hebat, bisa berenang dengan cepat.”

Aku barangkali merasa senang dipuji. Aku tetap berenang bersama paus pemakan anak-anak walaupun sebenarnya aku takut setengah mati.

Atau suatu waktu yang lain, saat Ibu pergi bersama teman-temannya dan tidak pulang-pulang hingga malam. Aku dan adik-adikku mengadu lapar pada Ayah. Ia kemudian akan membuka isi lemari dan memasak nasi goreng untuk kami semua makan langsung dari penggorengannya. Kapan pun aku mengingatnya, nasi goreng buatannya adalah yang terenak yang pernah aku coba. Walaupun seesungguhnya itu hanya nasi kecap dengan segala isi kulkas dari udang sampai bayam.

Tapi ayahku saat aku kecil adalah potongan-potongan yang jarang.

Ia adalah orang asing yang menyenangkan saat sekali-sekali dunia kami bersentuhan.

0 comments:

Rindu

10:26 PM Klenting Kinara 0 Comments

Ada satu hal yang baru aku sadari. Rindu tidak melulu perasaan yang sendu.

Aku membayangkan rindu sebagai hujan yang turun pelan pada sore hari berlangit temaram. Ada yang berjalan lebih lambat dari biasanya. Waktu dan denyut nadi di lengan kiri. Tempat jam tanganku melingkar mengabarkan hari yang belum juga habis. Masih ada beberapa jam lagi. Lalu esok, semua akan terulang lagi. Hujan pelan pada langit sore yang temaram.

Rindu adalah rasa yang tersasar dalam penantian.

Seperti dingin salju yang memabukkan. Dingin yang membuat jari kebas dan hidung memerah beku. Tubuhmu akan merindukan hangat. Merindukan berada dalam pelukan seorang yang akrab. Lalu ada sesuatu yang manis tercecap dalam lidahmu, membayangkan rasanya berada dalam kehangatan. Kau akan bergegas, agar dapat pulang lebih cepat.

Rindu adalah rasa yang berharap.

Ia adalah tentang sendiri tapi bukan sepi. Ia adalah menanti yang penuh harapan manis tentang kemudian.

Rindu adalah perasaan sendu, dingin yang manis dan memabukkan.

Aku bukan orang yang terbiasa dengan rindu. Aku orang yang terbiasa dengan sepi.

Seperti kesepian.

Aku membayangkan, sepi adalah malam yang pekat. Dimana tanganku bisa menggapai namun tak akan ada yang tertangkap. Tak ada yang terlihat. Hanya kesadaranku yang hidup, menghitung jumlah detak jantungku berdegup genap.

Sepi adalah ketenangan yang bising. Keheningan yang membuatku terasing.

Seperti seorang gadis yang menutup jendela saat malam jatuh pada bulan mati. Ia mengunci pintu dan jendela satu-satu agar kedap. Dalam ruangnya yang sendiri, ia meluruh. Setengah tubuhnya telah jatuh. Merasakan jiwanya yang patah, bahwa ia hanya setengah. Tidak sempurna dan tidak terlengkapi. Barangkali, ia mulai menangis tanpa suara.

Sepi adalah jelaga yang memakan mentah.

Tapi aku menyadari sepiku barangkali tergantikan rindu sekali-sekali.

Rinduku, yang bergetar.

Seperti pegas, rinduku adalah rasa teregang.

Seperti tubuh terlentang dengan kedua tangan terentang. Jantungku berdebar. Pada rasa rapuh menanti untuk disentuh. Seperti anak panah yang tegang pada busur yang telah ditarik kencang. Menanti untuk melesat cepat mencipta gurat pada angin yang tak bergerak.

Atau, patah dan rusak.

Rinduku bergetar dan berdebar. Pada rasa yang tak pasti. Apakah rindu berakhir dengan bertemu atau aku tak mampu menunggu.

Antisipasi. Rasa menanti yang mengalir di dalamnya adrenalin tinggi.

Rinduku adalah karet elastis yang batasnya dirahasiakan di antara kita berdua. Tidak akan ada yang tahu dimana ia akan putus saat kau dan aku menariknya terentang sejauh jarak dan waktu dalam deret geometri.

Semakin ia teregang, semakin rinduku bergetar.

Rinduku bukan tentang manis yang tercecap sekali-sekali , ia adalah tentang energi yang tertahan untuk dilentingkan nanti.


Dan entah sejak kapan, aku menemukan diriku menikmati getarannya.

0 comments:

Cerita dari Negeri Kinara - Pembantu

6:41 PM Klenting Kinara 0 Comments

PEMBANTU

Aku mengenal awal-awal pertumbuhanku dari tangan ke tangan. Tangan tante, tangan tetangga dan tangan pembantu rumah tangga. Ibuku tentu juga ikut mengurusiku, tapi aku adalah satu dari sekian banyak anaknya. Barangkali tangannya yang dua tidak cukup banyak untuk anaknya yang lima.

Ibuku telah mengajarkan padaku, bahwa aku bukanlah seseorang yang tidak tergantikan. Ia sering salah menyebut namaku dengan nama adikku, ia jarang mengajakku bicara karena ia sibuk sendiri, ia membiarkan aku hidup dari tangan ke tangan.

Aku memiliki tante yang masih muda dan baik. Ia hanya tidak terlalu peduli. Jika ibuku meminta bantuannya untuk mengurusku ia akan mengiyakannya dan membawaku mengikuti kegiatannya. Ia sering membawaku ke salon, karena ia perlu ke salon dan ia tidak bisa meninggalkanku. Ia membiarkan aku ditangani oleh orang salon yang merupakan temannya sementara ia membaca majalah sambil rambutnya dimacam-macam. Aku sering di creambath, karena aku akan duduk dengan tenang sementara menikmati rasa dingin-dingin di kepalaku. Saat itu aku belum tahu, bahwa krim yang digunakan berisi hanya bahan-bahan kimia.

Ia akan mengiyakan jika ibuku memintanya menyuapi aku makan. Ia akan membawaku jalan-jalan ke taman dekat rumah dan menyuapiku. Tapi aku adalah anak kecil yang jika dibawa ke taman akan sering terpecah perhatiannya. Maka saat aku tidak kembali untuk minta disuapi, tanteku akan membuang isi piringku ke tempat sampah dan mengantarku pulang sambil berkata kepada ibuku tugasnya sudah selesai. Malamnya aku sering merasa lapar.

Tetanggaku adalah seorang nenek pembuat kue untuk dijual di pasar. Jika aku berada di rumahnya ia akan menjadi sangat galak, karena ia tidak ingin aku membuat berantakan apapun. Kalau aku berani menyentuh kuenya atau bahan-bahan pembuat kue ia akan memukul tanganku dan menyuruhku berdiri di pojok menghadap tembok.

Aku juga punya banyak tetangga yang lain, ada yang selalu terlihat cantik dengan muka berpulas dandanan dan baju yang menurutku seksi. Dia adalah tetanggaku yang baik, ia sering membuatkanku es teh manis karena ia tahu aku menyukainya. Tapi kadang ada lelaki yang akan datang ke rumahnya dan ia akan menyuruhku pulang dulu atau bermain di luar.

Ada yang bekerja di rumah memasukkan roti kering bermargarin ke dalam kantong-kantong plastik bening lalu membakar ujungnya dengan lilin agar rekat. Ia suka membiarkanku memakan sisa roti-roti itu setelah aku membantunya membungkus ke dalam plastik-plastik. Akan ada orang yang akan datang untuk mengambil roti-roti kering itu dan membayarnya dengan uang. Kadang, kalau hatinya sedang baik, ia memberiku uang untukku jajan.

Dan masih banyak yang lain. Ada suasana berbeda di setiap rumah, ada karakter yang berbeda di setiap manusia. Aku menjadi belajar cara agar disukai dan diterima. Karena bagaimanapun, jika ibuku sedang menitipkan aku maka ia antara sedang begitu sibuk atau sedang keluar rumah. Maka jika aku berbuat salah sehingga dipulangkan aku akan menghadapi amarah ibuku.

Tapi aku punya pembantu yang aku begitu sayang padanya aku tidak masalah ia berkutu, aku tetap ingin tidur dengannya. Ibuku akan kemudian marah-marah, menyalahkan kelengketanku pada pembantuku seolah sesuatu yang salah. Tapi aku tumbuh dengannya, ia menidurkanku dipangkuannya sambil pantatku ditepuk-tepuk hingga mataku terasa berat. Ia menyuapiku dan menyisiri rambutku setiap hari. Ia memberikanku baju, mainan atau makanan yang dibelikan untukku sepulangnya ia dari pasar. Ia tidak memarahiku ketika aku nakal melainkan menakuti dengan cerita wayang yang seram-seram. Aku menjadi penurut.

Barangkali anak kecil membuat orang dewasa mudah jatuh sayang. Aku pikir pembantuku telah sayang padaku, karena kadang ia menidurkan aku sambil menggumamkan lagu lembut dan mengelus pucuk kepalaku. Menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku agar tidak mengganggu.

Tapi kemudian, ia pulang kampung untuk menikah dan tidak kembali lagi padaku. Barangkali aku merajuk sampai seminggu, karena Ibuku tidak tahu bagaimana cara mengurusku seperti pembantuku melakukannya.

Lalu datanglah pembantu baru. Ia mengurusiku, bertahan saat aku memperlakukannya dengan menyebalkan (karena aku tidak mau pembantu baru, aku mau pembantuku yang aku sayang. Aku berbuat sejadi-jadinya, barangkali aku berpikir jika pembantu baruku pergi pembantu lama akan kembali), sampai kemudian aku menjadi akrab dengannya.

Tapi kemudian, ia berhenti bekerja pada Ibuku dan datang pembantu baru lagi.

Entah sejak kapan aku sadar, pembantu-pembantu ibuku tidak datang untuk mengurusiku. Mereka datang untuk dibayar. Mereka punya kehidupan mereka sendiri dan aku bukan bagian dari kehidupannya. Aku menjadi mandiri. Aku melupakan semua nama-nama mereka.

Tapi ternyata aku melupakan lebih dari sekedar nama, aku telah melupakan arti dari kedekatan. Hubungan antar manusia menjelma kebutuhan. Aku menjadi sulit percaya dengan ketulusan.  

Entah sejak kapan, aku tidak lagi melihat diriku sebagai seorang yang berharga, yang dicintai dan dibutuhkan. Aku melihat diriku sebagai beban, yang jika aku menghilang akan tergantikan.

Barangkali, aku menjadi lebih pendiam.

0 comments:

Cerita dari Negeri Kinara - Adat Bagus

5:53 PM Klenting Kinara 0 Comments

ADAT BAGUS

Ada ungkapan yang sering kudengar diucapkan Ibuku: “dia adatnya bagus.”

Yang artinya kurang lebih adalah peringatan agar aku maklum atas perilaku si ‘dia’ yang dibilang adatnya bagus. Karena barangkali ia adalah si bagus yang akan menangis meraung lebih dari dua jam jika menginginkan mainan namun tidak dibelikan, sampai terbatuk-batuk dan suaranya serak, atau bahkan muntah, dan masih keras kepala merajuk minta dibelikan mainan. Atau ia adalah si bagus yang akan memaksa ingin memiliki semua mainanku dan jika aku melawan ia akan menggigit tanganku sampai berdarah.

Si adat bagus.

Tentu saja aku tidak terlahir dengan adat bagus, yang barangkali membuat orangtuaku bersyukur. Tapi aku sulit bersyukur, karena tidak memiliki adat bagus artinya aku tidak akan diperlakukan spesial. Si adat bagus boleh berbuat apa saja dan aku tidak boleh. Si adat bagus boleh egois dan kasar, aku tidak boleh. Si adat bagus dan aku boleh bertengkar tapi hasilnya sudah diputuskan sejak sebelum pertengkaran.

Si adat bagus mengajarkan kepadaku ketidak adilan.

Aku tumbuh menjadi seorang yang sangat peka dengan ketidak adilan yang mungkin terjadi, dan membuatku menjadi seorang yang adil. Karena aku telah tahu bagaimana rasanya menatap ketidakadilan yang terjadi di depan mata dan kau tak bisa apa-apa. Aku tidak akan menjadi seorang yang menambahkan lebih banyak ketidakadilan di dunia.

Yang lebih buruk sifatnya boleh lebih dimanja karena mereka menuntut untuk mendapat lebih banyak, sementara yang baik sifatnya bisa menerima apa adanya maka tak perlu diberikan perhatian ekstra.

Bagaimana seorang yang tidak memiliki adat bagus bisa bersyukur karenanya?

Sepupuku yang perempuan adalah si adat bagus. Ia anak satu-satunya dari sepasang yang terlahir setelah sepuluh tahun hubungan pernikahan. Itu pun setelah program pengobatan yang menghabiskan uang tidak sedikit.

Ibuku menyebutnya anak mahal.

Anak mahal adalah si adat bagus yang paling sulit ditangani.

Aku pernah di usir dari rumahnya saat sedang menginap karena aku mengucapkan sesuatu yang ia tidak senang, jam dua dini hari. Ia sedang membangunkanku dan mengajakku bermain pedang, aku menolak karena itu tengah malam dan aku masih mengantuk. Aku meninggalkannya yang terbangun tengah malam dan kini tanpa teman. Ia berteriak marah membangunkan kedua orangtuanya, ia menangis hebat menyuruhku agar keluar dari rumahnya. Karena ia tidak sudi aku melanjutkan tidurku disana. Ia mengusirku saat itu juga. Ibunya berusaha menenangkannya sebentar namun ia berteriak-teriak makin  keras, Ayahnya menggenggam tanganku dan membawaku keluar. Ia mengantarku pulang malam itu juga dengan sepeda motornya.

Aku menurut dengan bingung dan kalut. Aku diantar pulang masih mengenakan piyama. Aku mengenakan jaket kebesaran milik ayahnya karena sepupuku tidak rela aku meminjam barangnya. Barang-barangku dirapihkan dengan buru-buru oleh ibunya ke dalam tasku dan diserahkan padaku. Tapi ada beberapa yang tertinggal dan tidak pernah aku minta kembali.

Malam itu barangkali aku menangis tanpa suara sepanjang perjalanan menuju rumahku. Dalam hatiku aku tahu aku tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tidak ada yang menanyakan apa perasaanku atau apa yang sebenarnya terjadi padaku. Barangkali, mereka pikir anak kecil tidak akan banyak berpikir.

Ayahnya membunyikan bel di rumahku beberapa kali sampai ayahku keluar dengan bingung melihatnya dan diriku berada di luar pagar di tengah malam. Ayahnya meminta maaf dan menceritakan kejadiannya secara singkat kepada ayahku.

Katanya, “yah, namanya juga anak-anak.”

Barangkali ia lupa, aku juga masih anak-anak.

Ayahku memelukku setelah masuk rumah dan mengelus kepalaku sambil berkata, “tidak apa-apa.”

Ia membiarkan aku tidur dengannya malam itu.


Adat bagus boleh membuat keributan pada jam dua pagi dan semuanya akan menuruti kehendaknya.

0 comments:

Rara Jonggrang - Gadis malang yang tidak bisa memutuskan

1:04 AM Klenting Kinara 0 Comments



Ada sesuatu dengan kisah rakyat. Ia selalu menggelitikku. Ada kedalaman berbeda setiap kali aku membaca kisah rakyat, ada interpretasi yang berubah-ubah seiring juga perubahan diriku yang bertumbuh. Tapi ada satu kisah yang begitu dekat denganku daripada yang lain. Ialah kisah Rara Jonggrang.

Rara Jonggrang adalah cerita rakyat yang sudah tak asing bagi penduduk jawa. Namun aku tidak mengenalnya sebagai cerita rakyat. Aku mengenalnya sebagai bagian dari masa laluku.

Aku tumbuh dengan sebuah dongeng yang bersinggungan, bahwa pada suatu titik dalam hidupku saat aku masih bayi yang sehat dengan pipi montok yang merona kemerahan dengan wangi susu masih menempel, orangtuaku membawaku ke candi prambanan untuk wisata.

Ada sebuah foto yang masih kusimpan, saat aku yang masih bayi digendong oleh ibuku dengan sebuah arca patung perempuan di belakangku yang kukenal sebagai Rara Jonggrang.

Adalah kebetulan bagi mereka yang tidak percaya dan adalah kemungkinan bagi mereka yang percaya, tapi aku yang bayi langsung jatuh sakit malam itu hingga rencana wisata dihentikan di tengah. Kami pulang dengan kecemasan di hati kedua orangtuaku. Aku yang bayi tidak kunjung sembuh hingga lebih dari seminggu, berat tubuhku berkurang hingga lebih setengahnya, hingga hilang pipi montok dengan rona kemerahan yang semula menghiasinya.

Orang yang memiliki kepekaan batin menyampaikan pada ibuku bahwa Rara Jonggrang menginginkanku sehingga ia ingin menarikku berpindah dunia. Namun seorang dukun menghentikannya. Sakitku sembuh, tapi aku tidak pernah sesehat sebelumnya.

Tapi kalimat itu tertinggal padaku, Rara Jonggrang menginginkanku.

Ada kedekatan yang aneh bagiku dan dongeng Rara Jonggrang. Betapa sedih, ketika aku mendengar cerita tentangnya, bahwa ia dikutuk menjadi arca karena telah menipu seorang pangeran bernama Bandawasa. Ia dihukum karena menipu, sementara jarang diceritakan betapa Bandawasa telah membunuh Ayah Rara Jonggrang sebelum ia datang, di atas darah Ayahnya dan darah peperangan yang dimenangkannya, ia datang melamar Rara Jonggrang untuk memperistrinya.

Jika kau seorang Rara Jonggrang apa yang akan kau lakukan?

*

Kisah rakyat yang sering diceritakan berulang adalah tentang Bandawasa meminta Rara Jonggrang agar mau menjadi istrinya. Rara Jonggrang yang tidak ingin menikah dengan Bandawasa memberi syarat yang mustahil kepada Bandawasa untuk membuatkannya seribu candi dalam semalam. Bandawasa dengan dibantu oleh tenaga jin berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilah puluh sembilan candi, dan pada proses membangun ke seribu Rara Jonggrang melancarkan rencana untuk menggagalkannya. Ia menyuruh seluruh dayang untuk membakar jerami di timur agar langit kemerahan dan menumbuk padi agar ayam mulai berkokok.

Para jin yang melihat langit mulai terang dan ayam mulai berkokok berpikir pagi telah datang dan pergi meninggalkan candi yang keseribu tidak selesai terbangun. Bandawasa yang menyadari langit tak kunjung cerah menyadari bahwa hari belum benar-benar pagi dan cahaya kemerahan di timur hanyalah jerami yang dibakar merasa telah tertipu.

Ia mengutuk Rara Jonggrang dan menjadikannya arca di dalam candi keseribu.

Tapi barangkali, dalam bayanganku, Rara Jonggrang bukanlah membikin syarat untuk menipu. Ia memberi syarat untuk memberi waktu. Karena ia belum bisa memutuskan.

***

Bayangkanlah seorang putri yang begitu cantik hingga seorang pangeran dari negeri seberang yang datang untuk menguasai kerajaan terjatuh pada lututnya, kehilangan semua alasan dan logika sebelum ia datang, ia yang baru membunuh separuh isi kerajaan dengan satu tujuan, tunduk pada kecantikan Rara Jonggrang. Melupakan segalanya, bahkan bahwa ia baru saja membunuh ayahnya, dengan darah yang barangkali belum diseka, ia meminta kepadanya untuk bersedia menjadi istrinya. Menjadi perempuan yang akan berbagi ranjang dan kerajaan dengannya.

Bayangkanlah, seorang putri yang begitu cantik menghadapi pembunuh ayahnya yang berlutut dihadapannya dengan wajah memerah. Dengan adrenalin yang memompa dalam darahnya lebih deras daripada ketika ia bertarung dalam perang yang mempertaruhkan nyawa. Ia berada di sana, menawarkan separuh ranjangnya dan separuh kerajaannya.

Lelaki itu telah membunuh ayahnya. Ia tahu itu. Ia membunuh ayahnya, raksasa pemakan manusia yang telah memerintah kerajaannya dengan semena-mena. Ia juga tahu itu. Ia telah sejak lama tahu, siapa penguasa di kerajaannya dengan rakyat yang dengan takut-takut berdoa kepada dewa agar anaknya tidak terpilih sebagai persembahan untuk sang raja pemakan manusia dan siapa penguasa kerajaan tetangganya yang begitu makmur dengan rakyatnya yang berbahagia.

Tapi ia tidak bisa menjawabnya saat itu juga. Tidak dengan semua mata yang memandang kepada mereka berdua, tidak percaya atas apa yang terjadi dan tidak mampu menebak apa yang akan terjadi. Mata kawan dan lawan menyorot sama tajam. Akankah Rara menjadi pengkhianat dengan menerima penjajah yang baru saja membunuh raja mereka atau akankah ia mati dengan memegang harga diri dengan menolak.

Ia menimbang-nimbang, kejadian yang telah terjadi begitu cepat dan ia belum memahami apa yang ia rasakan. Apakah ia sedang berduka atas kehilangan ayahnya ataukah kehilangan rakyat dan tentaranya dalam peperangan? Apakah ia akan berkhianat dengan menerima pinangan lelaki yang telah membunuh ayahnya ataukah menyelamatkan nyawa rakyat yang kini kehilangan penguasanya?

Rara berpikir cepat. Ia membutuhkan waktu. Ia memberi syarat.

Buatkan aku seribu candi dalam semalam.

Karena ia tahu, lelaki itu tidak akan mampu. Maka setelahnya, ia bisa bicara. Dengan posisi sama tinggi, ia sebagai putri dari kerajaan yang telah kalah, dan Bandawasa sebagai pangeran yang telah kalah pada syaratnya.

Ia akan memiliki sepanjang malam untuk membuat keputusan.

Seluruh istana gempar mendengar kabar atas apa yang terjadi di sebuah ruang istana tempat Rara bertemu Bandawasa yang bertekuk lutut meminangnya. Peperangan tertangguhkan. Petinggi dan prajurit kedua kerajaan kehilangan kata-kata, tidak ada yang bisa menebak hal ini akan terjadi. Mereka bersinggungan dengan tegang dan canggung, tidak tahu apa mereka akan menjadi kesatuan saat pagi datang ataukah pembunuhan. Penyelesaian dari invasi yang hampir selesai.

Rara jonggrang kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan atau muntahkan. Ia menyuruh seluruh dayang keluar dari kamarnya. Ia berdiri kosong dalam kesendiriannya. Tidak ada air mata yang tumpah. Ia menoleh ke jendela kamarnya yang masih terbuka, walau malam telah mulai jatuh. Ia bergerak kesana, melihat langit dengan bulannya yang purnama dan bertanya pada dewa.

Apa yang harus kulakukan?

Dari kejauhan suara gemuruh terdengar samar, ia melihat api-api kecil bermunculan pada satu titik di kejauhan sebelah utara. Suara yang terdengar semakin ramai dengan cangkul, palu, pemotong batu. Dari kejauhan ia telah sadar, Bandawasa sedang menjalankan syaratnya. Ia menutup jendela agar kedap, dan dalam kamarnya yang gelap ia menyadari, ia tak akan mampu membuat keputusan malam ini.

Tidak ada yang tidur malam itu. Tidak seorangpun dari kerajaan Pengging dan Prambanan. Diam-diam mereka mendengarkan bising konstruksi candi yang sedang dikerjakan. Yang akan menentukan apa yang akan terjadi saat pagi hari datang.

Rara dan Bandawasa tidak terkecuali. Mereka saling memikirkan satu sama lain dengan keresahan. Bandawasa yang resah jika seribu candi tidak selesai, Rara Jonggrang yang resah jika seribu candi selesai.

Rara mengambil jubah gelap dari lemarinya, ia memutuskan untuk pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ada kesunyian yang janggal dalam istananya, tapi ia telah menguatkan hati. Ia akan memastikan apakah Bandawasa akan mampu menyelesaikan seribu candi. Ia yakin hal itu mustahil, tapi Bandawasa telah mengalahkan ayahnya yang selama ini ia pikir juga adalah hal mustahil.

Ia berdiri pada ujung bukit paling utara di luar istananya, menatap kumpulan api-api kecil penerangan pembangunan kompleks candi di bawahnya. Betapa ia terkejut saat melihat benda-benda bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, suara gemuruh samar yang ia telah dengar saat malam baru jatuh adalah suara dari pekerja candi yang tidak terlihat wujudnya. Bukan prajurit, bukan manusia.

Tangan Rara bergerak tanpa sadar menyentuh dadanya, merasakan gemuruhnya. Jantungnya berdetak kencang, saat itu juga ia telah tahu. Seribu candi akan selesai dalam semalam.

Ia melihat Bandawasa yang berdiri bersedekap pada tumpukan batu yang tinggi, mengawasi pembangunan dengan raut cemas. Ia melihat lelaki itu, yang gagah dan sakti. Ia teringat saat ia berlutut di depannya dengan wajah kemerahan, ia tahu betapa tulusnya. Ia tahu betapa ia telah berusaha walau syarat yang ia berikan bukan untuk diselesaikan. Ia tahu lelaki itu begitu menginginkannya. Ia tidak meragukannya.

Tapi ia adalah lelaki yang telah membunuh ayahnya. Dan anak perempuan mana yang mampu menikah dengan pembunuh ayahnya? Ia khawatir hal itu akan menciptakan petaka. Dan apa yang akan diucapkan semua orang tentangnya? Pengkhianat yang memilih nyawa daripada kehormatan keluarga dan kerajaannya. Walau ia tahu ini bukan hanya perkara nyawa melainkan kekuasaan dan kesejahteraan rakyat kerajaannya.

Tapi Rara melihat lelaki itu, ia tidak tahu apa ia membencinya atau tidak. Barangkali tidak. Ia berharap, andai mereka bertemu dalam keadaan yang sama sekali lain. Ia berulang kali mempertanyakan satu hal.

Apakah aku siap menjadi istri lelaki itu dan berada di sisinya untuk sepanjang sisa hidupku?

Ia tidak tahu jawabannya. Suara lain mulai muncul di kepalanya.

Aku bisa membunuhnya untuk membalaskan dendam ayahku jika aku menjadi istrinya.

Tapi rautnya berubah sedih.

Aku bukan seorang pembunuh. Dunia ini tidak butuh lebih banyak pembunuhan.

Dan satu candi telah selesai terbangun lagi.

Rara mengerjapkan matanya, merasakan sebutir mutiara bening miliknya jatuh dan pecah di pipinya yang pucat memantulkan cahaya bulan purnama. Barangkali saat itu Bandawasa merasakan kehadirannya dan menoleh ke arahnya. Seorang gadis tercantik yang pernah ia temui dalam jubah gelap yang berusaha menutupi. Tapi kulitnya memantulkan cahaya bulan purnama dan keindahannya tak bisa ditutupi dengan selembar kain berwarna gelap.

Rara memalingkan wajah, ia tak mampu membuat keputusan. Ia memandang bulan yang telah condong sedang menyaksikan apa yang terjadi.

Aku butuh lebih banyak waktu.

Ia akan membuat pagi lebih cepat datang. Ia berbalik dan bergegas membangunkan para perempuan dan dayang istana untuk membakar jerami di timur agar langit terang kemerahan dan menyuruh mereka menumbuk padi agar seolah pagi telah datang.

Ia ingin seperti rencananya kemarin, pagi ini mereka akan bicara. Ia akan memberi sebuah syarat yang lain, yang akan selesai dalam seminggu. Ia ingin memiliki seminggu untuk membuat keputusan.

Suara gemuruh terdengar lagi, bersamaan dengan padamnya api-api dikejauhan tempat candi-candi sedang dibangun. Meninggalkan tempat itu sepi dalam sekejap, suara bising konstruksi berhenti mendadak.

Tapi langit baru terang setelah keheningan berlangsung cukup lama, bersamaan dengan suara bisik-bisik semua orang dalam kerajaan itu yang menerka-nerka masa depan mereka. Rara datang ke kompleks pembangunan candi diiringi dayang-dayang yang telah membakar jerami dan menumbuk padi.

Bandawasa sedang berdiri di batu tinggi tempat ia menemukannya semalam. Matanya merah karena amarah. Ia merasa ditipu selama ia menunggu langit yang tak kunjung terang.
Rara datang untuk bicara, ia meminta dayangnya berhenti sementara ia ingin menghampiri Bandawasa sendiri.

“Aku telah menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi,” katanya.

Semua orang yang mampu mendengar ucapan Bandawasa yang lantang langsung ramai berbisik riuh. Mereka kini telah tahu keadaannya. Bandawasa telah gagal.

“Aku tahu,” kata Rara.

“Tentu,” kata Bandawasa, “karena kau yang telah menggagalkannya.”

Dengan suara yang lebih pelan Rara berkata, “aku tahu. Kita akan bicara.”

Bandawasa berang mendengarnya, “tidak ada yang perlu dibicarakan dengan penipu.”

Rara menatapnya, dengan tatapan yang sama yang ia telah lihat semalam. Tatapan yang telah membuatnya merasa gadis itu barangkali mencintainya seperti ia mencintai gadis itu. Tatapan yang telah menghilangkan raut cemasnya semalam. Tapi ternyata ia menemukan gadis itu telah menipunya dengan menciptakan suasana seolah pagi telah datang. Membuat jin dan makhluk halus yang tengah membangun candi berhenti meninggalkannya dengan candi keseribu yang baru terbangun kurang dari setengah. Candi terakhir yang telah ia minta agar menjadi yang terbagus dan terbesar, yang akan ia persembahkan untuk Rara dengan bangga.

Kau tidak mengerti, kata Rara dalam kata yang tidak mampu terlontar dari bibirnya.

Air matanya telah jatuh lagi seperti semalam, setitik basah yang membuat Bandawasa semakin berang. Ia kembali teringat semalam, kekecewaannya saat ia mengetahui yang menggagalkannya dari syarat membangun seribu candi adalah Rara Jonggrang sendiri. Gadis itu telah membuat usahanya sepanjang malam menjadi bahan tertawaan semua yang datang pagi ini. Gadis itu tidak menginginkan pernikahan dengannya. Ia hanya mencari cara untuk menolaknya.

Maka dalam kemarahan dan kekalutan perasaan yang ia tidak pahami antara kekecewaan atas penolakan, rasa malu telah jatuh kedalam tipuan membangun seribu candi, kegagalannya yang ia tidak bisa terima ia dengan lantang mengutuk Rara Jonggrang.

“Jika kau tidak ingin menjadi istriku maka jadilah bagian dari candi keseribu yang telah menjadi syaratmu namun kau ingkari.”

Maka Rara Jonggrang menjelma arca batu yang membeku dalam candi ke seribu.

*

Barangkali, pada malam-malam tertentu saat Bandawasa melihat bulan sedang penuh purnama, ia mengunjungi candi keseribu dengan arca Rara Jonggrang di dalamnya yang berkilau merah. Merasakan rasa pahit di lidahnya, saat ia menyadari amarahnya telah membekukan gadis yang ia cintai ke dalam bukti cintanya yang ia bangun dengan jantung begitu berdetak, dengan semangat dan cemas, tak sabar menunggu pagi untuk mempersembahkannya dengan lantang dan bangga.


Barangkali, ia tahu rasa pahit itu tidak berasal dari lidahnya melainkan satu sudut dihatinya saat ia menatap ironi yang telah terbangun megah.

0 comments:

Cerita dari Negeri Kinara - Rumah

1:31 AM Klenting Kinara 0 Comments

Untuk para Ibu yang di kakimu terletak surga
Aku mengerti membesarkan anak tidak mudah
Tapi kau bisa setidaknya berusaha

RUMAH

Aku tidak pernah benar-benar tahu mengapa aku jarang di rumah. Sejak aku bisa mengingat dengan jelas aku telah mengingat lebih banyak momen di luar rumah daripada di dalam rumah. Barangkali karena Ibuku sering marah-marah. Tapi Ibu mana yang tidak sering marah?

Kata orang dulu, anak yang tidak berkawan menjadi jahat dan egois. Aku tentulah anak yang baik dan selalu berbagi, karena kawanku begitu banyak lebih dari apa yang bisa dihitung jari. Aku berkawan mulai dari anak-anak tetangga rumah hingga kampung di seberang jalan yang bersisian dengan rel kereta.

Kadang-kadang, aku bermain di rel kereta. Karena anak-anak mengajakku begitu. Mengumpulkan batu atau menyusuri rel, atau sekedar menyeberang saja. Jika Ibuku tahu ia akan meledak marahnya dan tinggi suaranya dalam memakiku sebagai anak yang bodoh dan bandel hingga kupingku pengang.

Aku tahu ia marah karena khawatir aku barangkali terjatuh saat ada kereta melintas dan tertabrak hingga isi perutku terburai di rel besi (aku tahu, karena ia mengucapkannya begitu). Tapi ia sulit mengerti bahwa aku bermain di rel kereta karena kawanku mengajakku begitu. Dan setelahnya, setelah aku ketahuan dan dimarahi hingga kupingku pengang, jika mereka mengajakku lagi aku pasti akan setuju untuk bermain di rel kereta lagi. Karena mereka kawanku.

Tapi barangkali, karena pada saat itu, kawanku telah menjadi lebih berharga daripada Ibuku.

--

Barangkali, aku telah jengah dengan rumahku yang selalu ramai. Karena ada dua kakakku dan ada dua adikku yang kerap bertengkar. Barangkali denganku pun sering bertengkar, tapi aku sering menghindari pertengkaran dan keributan dengan mencari kesenangan berkawan di luar rumah.

Berbeda dengan pertengkaran dengan saudara, pertengkaran dengan kawan jarang melibatkan orang tua (mereka biasanya hanya mengancam, atau kadang mengadu tapi orangtua jarang ambil pusing).

Ibuku jarang ingin ambil pusing untuk menyelesaikan pertikaian adik kakak dengan adil, tapi ia tentu ingin agar keributan selesai dan rumah menjadi kembali tenang. Maka, ia lebih senang memarahi kami semua dan menyuruh yang lebih tua untuk mengalah. Adikku tumbuh menjadi egois dan kurang ajar terhadapku. Ia kasar dan senang melempar barang ke arahku saat bertengkar tanpa peduli apa aku akan terluka karenanya. Pernah suatu hari aku sedang merasa betapa tidak adilnya seorang kakak yang selalu mengalah terlepas dari siapa yang salah. Aku berpikir untuk menyelesaikannya dengan cara yang sama; aku akan memperlakukannya seperti ia memperlakukanku. Maka ketika ia mulai melempar barang ke arahku aku kembali melempar barang ke arahnya. Sampai ia melemparkan gunting ke arahku dan hampir mengenai mata kananku.

Maka aku menjadi sadar, aku telah lebih dulu paham atas konsekuensi dari tindakan. Barangkali ia baru akan menyesal jika melihat mata kakaknya mengucurkan darah dan menjadi buta untuk selamanya. Tapi sebelum itu terjadi tidak terpikirkan olehnya bahwa melemparkan gunting kepadaku adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Konsekuensi belum datang kepadanya sebagai pemahaman, ia hanya akan datang kepadanya sebagai kenyataan di kemudian. Tapi ia telah datang kepadaku sebagai pemahaman, maka aku tidak bisa melempar gunting kembali ke adikku.

Sore itu aku telah belajar mengapa seorang kakak seharusnya mengalah.

Aku hanya bisa menahan kekesalan dan menjauhkan diri darinya yang sedang menyunggingkan senyum menang; aku keluar dari rumah dan pergi ke rumah kawan.

Namun, lain waktu saat aku bertengkar dengan kakakku aku menjadi egois sebagai pembalasan karena adikku telah berlaku egois kepadaku. Tapi kakakku adalah anak lelaki, ia tidak bertengkar dengan mulut atau melempar barang karena itu hal yang dilakukan perempuan. Kakakku hanya akan menamparku sekali hingga perihnya dalam sekejap membuat isi kepalaku hening. Lalu panas merayap, membakar pipi dan hati. Mataku akan basah dan air mataku akan jatuh entah karena sakit di pipi atau sakit di hati.

Aku akan menangis mengadu pada Ibuku. Ia akan kemudian memarahi kami berdua dan menyuruhku untuk jangan menganggu kakakku karena itulah yang akan terjadi. Ia tidak menyuruh kakakku untuk mengalah, karena ia tahu kakakku tidak akan mau mengalah. Karena ia keras hati dan ia anak lelaki.

Hal tersebut tidak cukup sekali, tapi berkali-kali sampai kemudian aku menjadi juga belajar dan mengerti. Bahwa di rumah ada aturan yang mudah; yang kuat yang mendapat tempat. Segala aturan lainnya adalah alasan karena barangkali Ibuku tidak sampai hati mengatakan kepadaku bahwa aku harus mengalah kepada adikku karena ia lebih egois, dan harus mengalah kepada kakakku karena ia lebih kuat dan gampang naik darah. Bahwa aku hanya harus selalu mengalah karena aku anak yang baik dan lemah yang lebih mudah ia suruh agar begitu. Agar ada ketenangan dalam rumah, ada penyelesaian dalam pertengkaran.


Barangkali saat itu aku belajar bahwa Ibuku seorang pragmatis. Ia tidak menyelesaikan masalah dengan adil, ia menyelesaikan masalah dengan mudah.

0 comments:

“Kenapa kamu sayang aku?”

1:56 PM Klenting Kinara 0 Comments

“Kenapa kamu sayang aku?”
Itu adalah pertanyaan periodik milik perempuan kepada pasangannya.
Jika kau lelaki maka mungkin kau akan bosan mendengar—dan menjawab, pertanyaan yang sama sambil berusaha memberikan jawaban yang berbeda. Kau akan bertanya-tanya mengapa perempuan begitu senang bertanya demikian secara berulang.
Barangkali kami pelupa. Atau barangkali kami insecure.
Atau barangkali, kami hanya ingin menjadi lebih baik untukmu.
Karena dengan mengetahui kenapa, kami bisa berusaha lebih baik melakukannya.

--

“Kenapa aku sayang kamu?”
Aku tertegun mendapat pertanyaan seperti itu.
Barangkali karena lelaki tidak biasa menanyakan pertanyaan yang membuatnya malu telah begitu drama dan sensitif serta menunjukkan insecurity.
Tapi justru, menanyakannya entah kenapa membuatku merasa ia nyaman dengan dirinya dan tidak pusing memikirkan perkara kecil seperti citra diri.
Aku menyenderkan punggung ke bantal persegi empuk di belakangku, mulai menerka-nerka.
“Kau tahu, perkara sayang ini mengingatkanku pada boneka-boneka merah muda berbagai bentuk di kamarku. Mereka memakan tempat dan mengoleksi debu di helai bulu-bulu sintetisnya. Membuatku alergi. Aku meletakkannya di sudut kamar, aku harus mencucinya tiap bulan. Mungkin lebih dari sepuluh, pemberian berbagai orang yang dulu berpikir aku senang warna merah muda ataupun boneka.”
Aku diam sebentar memandang keramaian di luar teras café, cahaya terik, orang-orang bergegas. Aku menyeruput cappuccino dingin di tanganku, kembali memandang si penanya, lalu melanjutkan.
“Tapi entah kenapa, setiap kali Mamaku ingin membuang mereka atau menyumbangkannya aku selalu melarang. Kataku: jangan, sayang.”
Ia terlihat seperti baru menangkap apa yang ingin kusampaikan. Kemudian katanya, “tapi bukankah itu agak berbeda? Itu adalah ungkapan sayang yang lain, yang tidak rela sesuatu milikmu diberikan pada orang lain.”
“Menurutmu begitu?” aku bertanya balik, “kurasa sayang padamu juga berarti aku tidak rela jika kau menjadi milik orang lain. Walaupun kau memberiku alergi dan aku harus repot-repot mencucimu tiap bulan, dan aku bahkan tak lagi melihat apa dari dirimu yang aku suka. Aku tetap tidak ingin melepasmu dari hidupku karena aku telah terbiasa hidup dengan kehadiranmu.
Barangkali, sayang adalah suatu keadaan terlanjur. Aku sudah terlanjur menerima ia yang aku sayang dan membiarkan detailnya kabur. Menjadi tidak lagi penting kenapa, menjadi penting aku tidak ingin melepaskanmu, begitu saja.”
Ah.
Dan aku tersenyum.
Aku sedang menjawab pertanyaanku sendiri.
Aku menatap wajah ia yang di depanku sedang tersenyum senang dan malu. Barangkali ia malu telah menjadi seorang yang memberiku alergi dan harus kucuci setidaknya sebulan sekali.
“Tapi kau tahu”, aku menyeruput cappuccino dingin-ku lagi, menghabiskannya dan meletakkannya di meja. “sebentar nanti aku pasti akan bertanya lagi padamu kenapa kau sayang aku.”

Barangkali memang perempuan mudah lupa.

*in response of youtube Raditya Dika "Diary Komedian - Kenapa Sayang Sama Aku"
https://www.youtube.com/watch?v=qguGJe9Rc80



0 comments:

Hujan di Hutan Hujan

12:54 PM Klenting Kinara 0 Comments

Apa #AwesomeJourney menurutmu?
Ayahku pernah berkata, “perjalanan seorang diri adalah tentang dirimu dan dunia. Perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”
Aku tidak pernah begitu paham apa yang ia maksudkan hingga kemudian ia meninggal dunia pada umurku yang ke delapan belas.

--

“Kau sudah siap, Amira?”
Aku mengikat tali sepatuku dan bangkit berdiri, mengibaskan rok biru tua yang kukenakan agar rapih kembali. Lalu bergegas keluar rumah menghampiri Ayahku yang telah siap di atas motornya. Aku akan melompat naik ke jok di belakangnya dan berkata, “iya, yuk jalan.”
Kami akan kemudian bergegas melewati jalan raya yang telah padat dengan kendaraan pukul setengah tujuh.
Ayahku adalah pegawai kantoran biasa, ia kerja dari pukul sembilan hingga pukul lima sore setiap harinya. Tapi ia selalu datang lebih awal, karena ia harus mengantarku ke sekolah sebelum jam tujuh. Ia akan menghabiskan waktu dengan membaca koran pagi atau, kesukaannya, mencari tahu lokasi mana lagi yang akan ia dan aku kunjungi saat ada libur sedikit panjang.
Ayahku memang pegawai kantoran biasa, tapi saat libur datang ia menjelma bocah petualang. Aku selalu bisa melihat kilat vitalitas pada matanya yang biasanya tenang dan teduh, senyum lebar kekanakan pada wajahnya yang biasanya sopan dan bersahaja saat ia mulai menjelaskan rencana-rencana perjalanan. Itu berarti, libur telah dekat dan rencananya sudah hampir lengkap. Ia menjadi semangat sekaligus tidak sabar untuk segera menjejakkan kaki ke alam bebas lagi; memulai petualangan. Aku akan sering mendengarnya bersiul.
Itu adalah Ayah yang aku sukai.
Tapi pelan-pelan aku memahami, Ibu tidak terlalu menyukai Ayah yang seperti itu. Ibu sering menyebutnya kekanakkan dan tidak berpikiran panjang. Ibu inginkan Ayah yang fokus dengan pekerjaannya agar naik karirnya, atau menghabiskan waktu luang untuk usaha sampingan agar tabungan keluarga bisa sedikit lebih gendut.
Mereka tentu tidak pernah terang-terangan bertengkar di depanku, tapi aku tahu Ayah sering diam-diam menggunakan uang dari tabungan untuk sumbangan-sumbangan dan Ibu tidak senang. Sekali waktu barangkali Ibu sudah benar-benar kesal maka di meja makan mereka bersitegang.
Kata Ibu, “kamu seharusnya menghasilkan uang buat keluarga, bukan menggunakan uang keluarga untuk sumbangan tidak jelas.”
Kata Ayah, “tapi Ayah jelas loh Bu, Ayah memberi sumbangan untuk kampanye perlindungan hutan hujan. Mereka ini kan kasihan sekali, orang-orang yang bekerja di lapangan menentang pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit kalau tidak kita bantu.”
Kata Ibu, “biarlah mereka urus urusan mereka dan kita urus urusan kita sendiri.”
Ayah diam sebentar sebelum berkata, “jika semua manusia hanya peduli urusan diri sendiri, dimanakah kemanusiaan? Bahkan manusia telah hilang kemanusiaan pada bukan manusia. Yang hidup di bumi ini bukan hanya manusia, binatang dan tumbuhan juga hidup dan punya nama. Apa kita tak harus menolong mereka yang hidup namun tak mampu bicara?”
Ibu kemudian menatap tajam ke Ayah sebelum membalas ketus, “jika kau ingin menjadi Tuhan semesta maka jadilah, ada alasan Tuhan tidak punya istri dan anak!”
Ibu mengangkat piringnya yang belum habis setengahnya ke dapur dan mencucinya. Beberapa lama setelah itu mereka tidak lagi tinggal bersama.
Ibu menyampaikan ia dapat pekerjaan di kota lain sehingga ia dan si bungsu akan pindah sementara aku tetap bersama Ayah karena Ibu tidak ingin aku pindah sekolah dan bingung.
Diam-diam aku mengakui bahwa jika diberikan pilihan aku memang lebih ingin bersama Ayah.

--

Aku pernah bertemu dengan macan kumbang.
Kau tidak akan percaya seperti hampir semua temanku tidak percaya saat kuceritakan. Karena sesuatu yang sulit dipercaya membuat manusia ingin untuk tidak percaya sama sekali.
Tapi kuceritakan padamu bahwa keajaiban alam benar terjadi, dan ia terjadi pada mereka yang percaya.
Saat itu adalah petualangan aku dan Ayah pada salah satu hari libur yang agak panjang karena ada tanggal merah pada hari Selasa. Ayah mengambil cuti di hari Senin dan ia menuliskan surat izin untuk dikirim ke sekolahku dari hari Jum’at.
Tepatnya Senin itulah, saat hujan jatuh dengan deras sepanjang sore di kaki Gunung Gede Pangrango, aku dan Ayah terjebak dalam tenda kami pada daerah terbuka dengan tanah agak lebih tinggi dari sekitarnya. Barangkali aku tampak ketakutan atas suara hujan yang menampar-nampar tenda atau barangkali aku takut tenda kami akan segera terendam.
Maka Ayah mengajakku yang sedang menggigiti kuku sambil memandang melalui jendela plastik di sisi tenda ke arah hujan untuk berbaring di sisinya. Ia memberi gestur agar aku merebahkan kepala di bahunya sementara ia memelukku. Harum dari detergen yang masih menempel samar di jaket parasutnya bercampur dengan bau lembab yang telah menjadi khas menenangkanku.
Lalu ia berkata, “dengarlah, hutan sedang berbicara.”
Aku tertegun.
Aku tidak pernah berpikir bahwa hujan adalah cara hutan berbicara. Ini hutan hujan! Lalu aku tertegun lagi. Bukankah ada alasan kenapa hutan dan hujan hanya berbeda satu huruf?
Aku mendengar Ayahku tertawa kecil yang khas saat ia sedang berada di alam liar, tawa renyah yang menunjukkan ia sedang merasa terbebas dan bahagia. Walaupun hujan sedang jatuh mengguyur deras.
Ia kemudian bercerita:
“Kau tahu, aku jatuh cinta pada alam dua puluh tahun lalu karena hujan di hutan hujan. Ia menggentarkanku. Ia menyadarkanku betapa kecil manusia dibandingkan dengan alam. Betapa tidak berdayanya. Seperti hujan yang merupakan salah satu bagian dari siklus air yang mengalir terus hingga ke laut yang kemudian menguap menjadi awan dan jatuh lagi seperti sekarang.
Kita manusia hanyalah salah satu spesies dari ekosistem alam yang lebih besar. Kehidupan berputar. Dari tanaman yang memberi makan binatang, binatang yang kita makan, hingga nanti kita mati memberi makan binatang pengurai, untuk kemudian diserap kembali oleh tanaman.
Hidup mengalir sebagai siklus yang tak putus, berputar terus menggelinding dalam waktu yang membentang lurus seperti jalan yang mulus.
Lalu kemudian aku tersadar, bagaimana jika rantai yang membentuk siklus putus? Bagaimana jika ekosistem tak lagi membentuk roda yang mampu menggelinding? Bukankah kehidupan akan mati seluruhnya?
Tidak ada satu bagian yang lebih penting dari yang lain.
Kita manusia, yang berakal dan berkuasa, sesungguhnya tidak lebih penting dari cacing tanah yang menggemburkan tanah. Atau bakteri dan jamur yang tidak terlihat mata.
Bukankah kenyataan ini jauh lebih menggentarkan daripada sekedar hujan yang menampar-nampar?”
Aku terdiam di tempatku mendengarkan dan membayangkan seluruh perkataan Ayahku, menatap atap tenda yang bergetar karena hujan yang jatuh deras. Ia mulai terdengar ritmis dan melodis, tidak lagi menakutkan seperti sebelumnya. Aku membayangkan hujan adalah nyanyian alam yang sedang berseru mengagung-agungkan kemegahan alam. Aku membayangkan pohon-pohon dan tanaman sedang tersenyum senang dan menengadahkan dirinya menyambut hujan yang jatuh berkejaran.
Ayah tampaknya menyadari perubahan perasaanku karena ia mengelus lembut pucuk kepalaku sambil berkata, barangkali sambil tersenyum, “itu adalah awal perkenalanku dengan alam. Tapi yang lebih penting, kau akan terkejut menyadari betapa banyak yang bisa alam ajarkan padamu. Dari dua puluh tahun yang lalu hingga sekarang, setiap kali aku ke alam selalu ada hal baru yang aku pelajari.”
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya, aku bertanya dengan penasaran, “apa yang Ayah pelajari hari ini?”
Ia tersenyum lebar dari ujung yang satu hingga ujung yang lain.
“Aku belajar bahwa kebahagiaanku adalah memilikimu.”
Aku barangkali hampir menangis karena rasa yang begitu haru. Tapi hujan telah berhenti secara tiba-tiba, seperti ada yang memayungkan langit dengan payung raksasa transparan. Hujan tropis yang jatuh tiba-tiba dan berhenti tiba-tiba, seolah bumi terbangun dari tidur dan hujan yang sejak tadi mengganggunya mendadak takut kena marah.
Aku tertawa kecil. Menyadari aku mulai membayangkan alam seperti mereka hidup dan punya nyawa serta rasa. Mungkin itulah yang alam telah ajarkan padaku saat itu, bahwa mereka hidup dan bernyawa.
Tapi tawaku hilang sama sekali dalam sekejap saat aku membuka ritsleting tenda, karena hujan sudah berhenti dan saatnya kami menghirup udara segar yang lembab sehabis hujan.
Aku bertatapan dengan macan kumbang yang tengah menoleh ke arahku mendengar suara ritsleting dari tenda yang sedang kubuka sebagian. Aku terpaku di tempatku.
Ia berdiri disana, mungkin lima belas meter dari tenda kami, di antara pepohonan tinggi dan semak yang rimbun. Jika bukan karena matanya yang kuning menyala menyorot ke arahku hingga seluruh bulu di tubuhku seolah berdiri, dan ekor hitam panjangnya yang bergerak dengan anggun menandakan makhluk itu hidup dan awas, barangkali aku akan melewatkannya.
Tapi tidak, kau tidak bisa melewatkan seekor macan walau bulunya berwarna hitam dan berada di antara semak. Aku bisa melihat cahaya yang dipantulkan bulunya yang hitam dan basah, mengikuti kontur tubuhnya yang anggun, liat dan pejal.
Aku menyaksikan keindahan yang begitu menakutkan.
Pada detik itu, aku telah pasrah jika macan kumbang itu menyerangku, karena siapa bisa melawan kekuatan hewan kuno yang sedang berjuang melawan kepunahan?
Tapi ia tidak menyerangku, ia kembali meluruskan wajahnya ke depan seolah ia telah memutuskan aku bukanlah lawan. Ia melompat dan dalam sekejap ia menghilang dari pandanganku, menghilang ke dalam semak dan pepohonan tinggi yang cahaya telah jarang.
Aku kembali menarik ritsleting bukaan tenda agar tertutup, lalu aku jatuh terduduk lemas seolah seluruh energi telah merembes habis dari tubuhku. Barangkali aku menggigil sedikit.
Ayah bertanya dengan cemas ada apa dari belakangku, aku menatapnya dengan ekspresi yang bercampur takut, kagum dan ketidakpercayaan, aku menjawab, “aku baru saja melihat seekor macan kumbang.”
Kami akhirnya memutuskan untuk tetap di dalam tenda hingga malam datang dan akhirnya kami keluar untuk kembali menebar garam di sekitar tenda yang telah habis karena hujan deras sebelumnya. Di luar tenda entah kenapa banyak kunang-kunang berkerlap-kerlip, mungkin karena sebelumnya hujan jatuh dengan derasnya. Aku menengadah untuk melihat langit yang begitu cerah karena sudah dicuci bersih oleh hujan, bintang bertebaran seperti lubang-lubang kecil di antara kain hitam yang memisahkan surga dengan dunia.
Malam itu aku seperti terlahir kembali dengan sayap peri hutan di punggungku.
Aku telah menjadi bagian dari hutan hujan dan ia menampakkan rahasia keajaibannya padaku.

--

Siapa yang menyangka, bahwa mataku baru terbuka akan apa yang alam telah simpan untuk diajarkan padaku pada hari dimana ia adalah perjalanan terakhirku dengan Ayahku. Aku telah seringkali ikut Ayahku dalam perjalanan kami menembus hutan. Kami tidak melulu menginginkan untuk mencapai puncak di hutan-hutan pegunungan karena kami tidak berusaha menunjukkan penguasaan kami terhadap hutan dan gunung. Kami mempelajari hal kecil akan kehidupan sederhana dan keindahan dari banyaknya spesies flora dan fauna yang saling hidup dengan harmoni.
Ada kebanggaan padaku sejak dulu, bahwa aku begitu beruntung bisa hidup pada daerah tropis dimana matahari menyorot sepanjang tahun mencipta keindahan yang begitu kompleks. Aku paling senang saat aku dan Ayah berkompetisi dalam mencari tanaman anggrek pada dahan-dahan pohon tinggi—siapa bisa menemukan anggrek lebih banyak. Atau tebak-tebak nama pohon—untuk kemudian nanti di rumah kami akan membuktikan siapa yang menebak benar dengan bantuan internet.
Ada kebanggaan bahwa pelajaran biologiku selalu nomor satu. Ada kebanggaan juga kepada Ayahku, bahwa ia mengenalkanku pada dunia dimana tidak banyak anak seumurku pernah merasakan atau bahkan tahu.
Tapi pada perjalanan kami yang terakhirlah aku sesungguhnya belajar, bahwa alam itu hidup dan mereka bisa mengajarkan. Lalu segalanya menjadi masuk akal, segala ucapan Ayah sebelumnya menjadi lebih jelas dan aku menjadi paham. Tentang seluruh sumbangan-sumbangannya untuk alam dan mengapa ia bersikeras walau harus bertentangan dengan Ibu.
Aku menjadi memahami Ayah seluruhnya karena sebagian dirinya telah menjelma alam dan dengan diriku memahami alam aku memahami Ayah. Maka aku percaya, diriku pun telah sebagian menjelma alam setelah perjalanan kami yang terakhir itu.
Karena setelahnya Ayah jatuh sakit, ia tak lagi mampu dengan aktifitas fisik yang berat seperti berkemah. Kehilangan kemampuan untuk melakukan hal yang telah mengisi hidupnya dan berada di pusat kehidupannya membuat Ayah jauh lebih cepat melemah dan merosot semangat hidupnya hingga akhirnya ia meninggal dua tahun kemudian.
Aku masih melanjutkan kebiasaan kami untuk berkemah setelah kepergian Ayah, kali ini sendirian atau bersama kawan, tapi tidak ada yang terasa sama. Aku menjadi lebih senang sendiri, karena aku merasa bisa menjadi bagian dari alam dengan lebih tenang daripada bersama kawan. Lalu saat itulah aku baru memahami maksud perkataan Ayahku, “perjalanan seorang diri adalah tentang dirimu dan dunia. Perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”
Namun alamlah yang mengajarkanku bahwa dalam perjalanan seorang diri aku bisa memiliki hidup hanya untukku, dunia dan segala isinya; langit, udara, dan semua cahaya. Tapi lalu kemudian, setelah semua keindahan pengalaman yang telah kurasakan dengan segala indera yang aku punya, semua pelajaran yang telah kutarik ilmunya, aku menjadi butuh untuk menyampaikannya pada orang lain yang berbagi kesenangan denganku.
Ialah yang membuat Ayahku begitu bahagia memilikiku.

--

Maka apakah #AwesomeJourney menurutmu?
Untukku, perjalanan terakhirku bersama Ayah adalah sebuah #AwesomeJourney. Ia adalah pengalaman yang jauh lebih besar dari diriku atau sekedar sebuah perjalanan. Ia adalah pengalaman tentang mengenal diriku sendiri, memetakan peran dari alam yang selama ini selalu dekat denganku di dalam hidupku, kebersamaan dengan Ayahku dan ilmu darinya yang pada akhirnya terhantarkan kepadaku, serta keajaiban dari alam yang serta merta terjadi; aku bertemu dengan macan kumbang!
Dan kini, lima tahun sejak Ayahku meninggal, aku berada di tepi danau menatap wajahku yang dipantulkan oleh air dan aku kembali mempelajari sesuatu. Bahwa #AwesomeJourney bisa dihantarkan. Ia dihantarkan padaku oleh Ayahku. Dan sekarang giliranku menghantarkannya pada Ibuku.
Aku akan bergegas pulang dari sini dan membawa Ibu ke hutan hujan agar perasaan Ayah terhantarkan padanya seperti perasaan Ayah terhantarkan padaku.

Karena perjalanan bersama seseorang adalah tentang kebersamaan.”


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

0 comments: