Cerita dari Negeri Kinara - Ayah

3:20 AM Klenting Kinara 0 Comments

Sesungguhnya, ayahku adalah entitas asing.

Aku tidak terlalu mengenalnya saat aku kecil, tapi aku tahu ia adalah ayahku dan semua orang telah mengajarkan begitu: keluarga adalah orang yang paling dekat denganmu.

Tapi aku tidak dekat dengannya.

Maka ayahku adalah karakter yang asing bagiku, seseorang yang aku pahami sebagai keluarga, tapi tidak aku kenali sebagai keluarga. Aku membangun karakternya berdasarkan cerita-cerita yang aku dengar di sekitarku.

Karena aku tidak benar-benar melihatnya.

Ia pekerja keras. Itu yang aku dengar. Jika aku tidak mendengarnya sedang bekerja, maka aku melihatnya sedang bekerja. Jika aku mengingatnya hal pertama yang terbayang adalah dia di belakang meja kerja dengan suara musik rock klasik mengiringi. Ia akan ikut menyanyi sekali-sekali.

Ia punya ruang kerja sendiri di rumah, ruang yang terlarang untuk anak-anak. Karena anak kecil jarang mengerti hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka ruang itu menjadi terlarang sekalian.

Tapi kadang, pintunya terbuka sebagian. Dan aku bisa melihatnya di belakang meja kerja di kelilingi kertas-kertas dengan suara musik terdengar keras.

Ia jarang melihat ke arahku.

Tapi ia adalah entitas asing yang merupakan ayahku. Maka aku sering penasaran dengannya dan mengintip takut-takut jika ruang kerjanya terbuka sedikit.

Pernah suatu hari, barangkali aku sedang nakal atau berani, aku masuk ke ruangannya saat ia sedang bekerja. Ia tidak marah dan menyuruhku keluar, biasanya ibuku yang melakukannya jika ia melihatku katanya, “jangan ganggu ayahmu bekerja.”

Seolah aku pengganggu.

Maka aku masuk ke ruangannya dan mendekat ke meja kerjanya. Aku ingin tahu apa yang sedang ia kerjakan hingga tubuhku menempel rapat dengan meja, lalu aku merasakan sesuatu di dadaku terasa menyengat. Aku menarik tubuhku dan menyadari ada lubang terbakar di baju bagian dadaku, ada rokok yang diletakkan di pinggir meja dan aku tidak melihatnya.

Aku menangis keras dan ayahku baru teralihkan perhatiannya kepadaku. Ia butuh cukup waktu untuk menyadari apa yang terjadi sebelum membawaku keluar ruang kerja untuk diobati.

Barangkali itu kali terakhir aku masuk ruang kerjanya.

Tapi sesungguhnya, aku senang dengan ayahku. Kadang, pada minggu pagi yang jarang terjadi, ayahku mengajak kami sekeluarga untuk pergi ke kolam renang umum. Aku hanya ingat, di kolam untuk anak-anak ada gambar ikan paus besar di lantai keramik. Jantungku berdebar keras setiap kali berenang melintas. Aku percaya paus itu sedang mengejarku dari bawah dan siap memakan kakiku yang berkecipuk. Aku berenang dengan sangat cepat agar tidak terkejar paus pemakan anak-anak.

Ayahku akan kemudian tersenyum lebar hingga dua baris giginya terlihat, katanya, “kamu hebat, bisa berenang dengan cepat.”

Aku barangkali merasa senang dipuji. Aku tetap berenang bersama paus pemakan anak-anak walaupun sebenarnya aku takut setengah mati.

Atau suatu waktu yang lain, saat Ibu pergi bersama teman-temannya dan tidak pulang-pulang hingga malam. Aku dan adik-adikku mengadu lapar pada Ayah. Ia kemudian akan membuka isi lemari dan memasak nasi goreng untuk kami semua makan langsung dari penggorengannya. Kapan pun aku mengingatnya, nasi goreng buatannya adalah yang terenak yang pernah aku coba. Walaupun seesungguhnya itu hanya nasi kecap dengan segala isi kulkas dari udang sampai bayam.

Tapi ayahku saat aku kecil adalah potongan-potongan yang jarang.

Ia adalah orang asing yang menyenangkan saat sekali-sekali dunia kami bersentuhan.

0 comments: