Cerita dari Negeri Kinara - Rumah

1:31 AM Klenting Kinara 0 Comments

Untuk para Ibu yang di kakimu terletak surga
Aku mengerti membesarkan anak tidak mudah
Tapi kau bisa setidaknya berusaha

RUMAH

Aku tidak pernah benar-benar tahu mengapa aku jarang di rumah. Sejak aku bisa mengingat dengan jelas aku telah mengingat lebih banyak momen di luar rumah daripada di dalam rumah. Barangkali karena Ibuku sering marah-marah. Tapi Ibu mana yang tidak sering marah?

Kata orang dulu, anak yang tidak berkawan menjadi jahat dan egois. Aku tentulah anak yang baik dan selalu berbagi, karena kawanku begitu banyak lebih dari apa yang bisa dihitung jari. Aku berkawan mulai dari anak-anak tetangga rumah hingga kampung di seberang jalan yang bersisian dengan rel kereta.

Kadang-kadang, aku bermain di rel kereta. Karena anak-anak mengajakku begitu. Mengumpulkan batu atau menyusuri rel, atau sekedar menyeberang saja. Jika Ibuku tahu ia akan meledak marahnya dan tinggi suaranya dalam memakiku sebagai anak yang bodoh dan bandel hingga kupingku pengang.

Aku tahu ia marah karena khawatir aku barangkali terjatuh saat ada kereta melintas dan tertabrak hingga isi perutku terburai di rel besi (aku tahu, karena ia mengucapkannya begitu). Tapi ia sulit mengerti bahwa aku bermain di rel kereta karena kawanku mengajakku begitu. Dan setelahnya, setelah aku ketahuan dan dimarahi hingga kupingku pengang, jika mereka mengajakku lagi aku pasti akan setuju untuk bermain di rel kereta lagi. Karena mereka kawanku.

Tapi barangkali, karena pada saat itu, kawanku telah menjadi lebih berharga daripada Ibuku.

--

Barangkali, aku telah jengah dengan rumahku yang selalu ramai. Karena ada dua kakakku dan ada dua adikku yang kerap bertengkar. Barangkali denganku pun sering bertengkar, tapi aku sering menghindari pertengkaran dan keributan dengan mencari kesenangan berkawan di luar rumah.

Berbeda dengan pertengkaran dengan saudara, pertengkaran dengan kawan jarang melibatkan orang tua (mereka biasanya hanya mengancam, atau kadang mengadu tapi orangtua jarang ambil pusing).

Ibuku jarang ingin ambil pusing untuk menyelesaikan pertikaian adik kakak dengan adil, tapi ia tentu ingin agar keributan selesai dan rumah menjadi kembali tenang. Maka, ia lebih senang memarahi kami semua dan menyuruh yang lebih tua untuk mengalah. Adikku tumbuh menjadi egois dan kurang ajar terhadapku. Ia kasar dan senang melempar barang ke arahku saat bertengkar tanpa peduli apa aku akan terluka karenanya. Pernah suatu hari aku sedang merasa betapa tidak adilnya seorang kakak yang selalu mengalah terlepas dari siapa yang salah. Aku berpikir untuk menyelesaikannya dengan cara yang sama; aku akan memperlakukannya seperti ia memperlakukanku. Maka ketika ia mulai melempar barang ke arahku aku kembali melempar barang ke arahnya. Sampai ia melemparkan gunting ke arahku dan hampir mengenai mata kananku.

Maka aku menjadi sadar, aku telah lebih dulu paham atas konsekuensi dari tindakan. Barangkali ia baru akan menyesal jika melihat mata kakaknya mengucurkan darah dan menjadi buta untuk selamanya. Tapi sebelum itu terjadi tidak terpikirkan olehnya bahwa melemparkan gunting kepadaku adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Konsekuensi belum datang kepadanya sebagai pemahaman, ia hanya akan datang kepadanya sebagai kenyataan di kemudian. Tapi ia telah datang kepadaku sebagai pemahaman, maka aku tidak bisa melempar gunting kembali ke adikku.

Sore itu aku telah belajar mengapa seorang kakak seharusnya mengalah.

Aku hanya bisa menahan kekesalan dan menjauhkan diri darinya yang sedang menyunggingkan senyum menang; aku keluar dari rumah dan pergi ke rumah kawan.

Namun, lain waktu saat aku bertengkar dengan kakakku aku menjadi egois sebagai pembalasan karena adikku telah berlaku egois kepadaku. Tapi kakakku adalah anak lelaki, ia tidak bertengkar dengan mulut atau melempar barang karena itu hal yang dilakukan perempuan. Kakakku hanya akan menamparku sekali hingga perihnya dalam sekejap membuat isi kepalaku hening. Lalu panas merayap, membakar pipi dan hati. Mataku akan basah dan air mataku akan jatuh entah karena sakit di pipi atau sakit di hati.

Aku akan menangis mengadu pada Ibuku. Ia akan kemudian memarahi kami berdua dan menyuruhku untuk jangan menganggu kakakku karena itulah yang akan terjadi. Ia tidak menyuruh kakakku untuk mengalah, karena ia tahu kakakku tidak akan mau mengalah. Karena ia keras hati dan ia anak lelaki.

Hal tersebut tidak cukup sekali, tapi berkali-kali sampai kemudian aku menjadi juga belajar dan mengerti. Bahwa di rumah ada aturan yang mudah; yang kuat yang mendapat tempat. Segala aturan lainnya adalah alasan karena barangkali Ibuku tidak sampai hati mengatakan kepadaku bahwa aku harus mengalah kepada adikku karena ia lebih egois, dan harus mengalah kepada kakakku karena ia lebih kuat dan gampang naik darah. Bahwa aku hanya harus selalu mengalah karena aku anak yang baik dan lemah yang lebih mudah ia suruh agar begitu. Agar ada ketenangan dalam rumah, ada penyelesaian dalam pertengkaran.


Barangkali saat itu aku belajar bahwa Ibuku seorang pragmatis. Ia tidak menyelesaikan masalah dengan adil, ia menyelesaikan masalah dengan mudah.

0 comments: