Cerita dari Negeri Kinara - Rumah
Untuk para Ibu yang di kakimu terletak surga
Aku mengerti membesarkan anak tidak mudah
Tapi kau bisa setidaknya berusaha
RUMAH
Aku tidak pernah
benar-benar tahu mengapa aku jarang di rumah. Sejak aku bisa mengingat dengan
jelas aku telah mengingat lebih banyak momen di luar rumah daripada di dalam
rumah. Barangkali karena Ibuku sering marah-marah. Tapi Ibu mana yang tidak
sering marah?
Kata orang dulu,
anak yang tidak berkawan menjadi jahat dan egois. Aku tentulah anak yang baik
dan selalu berbagi, karena kawanku begitu banyak lebih dari apa yang bisa
dihitung jari. Aku berkawan mulai dari anak-anak tetangga rumah hingga kampung
di seberang jalan yang bersisian dengan rel kereta.
Kadang-kadang,
aku bermain di rel kereta. Karena anak-anak mengajakku begitu. Mengumpulkan
batu atau menyusuri rel, atau sekedar menyeberang saja. Jika Ibuku tahu ia akan
meledak marahnya dan tinggi suaranya dalam memakiku sebagai anak yang bodoh dan
bandel hingga kupingku pengang.
Aku tahu ia
marah karena khawatir aku barangkali terjatuh saat ada kereta melintas dan
tertabrak hingga isi perutku terburai di rel besi (aku tahu, karena ia
mengucapkannya begitu). Tapi ia sulit mengerti bahwa aku bermain di rel kereta
karena kawanku mengajakku begitu. Dan setelahnya, setelah aku ketahuan dan
dimarahi hingga kupingku pengang, jika mereka mengajakku lagi aku pasti akan
setuju untuk bermain di rel kereta lagi. Karena mereka kawanku.
Tapi barangkali,
karena pada saat itu, kawanku telah menjadi lebih berharga daripada Ibuku.
--
Barangkali, aku
telah jengah dengan rumahku yang selalu ramai. Karena ada dua kakakku dan ada
dua adikku yang kerap bertengkar. Barangkali denganku pun sering bertengkar,
tapi aku sering menghindari pertengkaran dan keributan dengan mencari
kesenangan berkawan di luar rumah.
Berbeda dengan
pertengkaran dengan saudara, pertengkaran dengan kawan jarang melibatkan orang
tua (mereka biasanya hanya mengancam, atau kadang mengadu tapi orangtua jarang
ambil pusing).
Ibuku jarang
ingin ambil pusing untuk menyelesaikan pertikaian adik kakak dengan adil, tapi
ia tentu ingin agar keributan selesai dan rumah menjadi kembali tenang. Maka, ia
lebih senang memarahi kami semua dan menyuruh yang lebih tua untuk mengalah.
Adikku tumbuh menjadi egois dan kurang ajar terhadapku. Ia kasar dan senang
melempar barang ke arahku saat bertengkar tanpa peduli apa aku akan terluka
karenanya. Pernah suatu hari aku sedang merasa betapa tidak adilnya seorang
kakak yang selalu mengalah terlepas dari siapa yang salah. Aku berpikir untuk
menyelesaikannya dengan cara yang sama; aku akan memperlakukannya seperti ia
memperlakukanku. Maka ketika ia mulai melempar barang ke arahku aku kembali
melempar barang ke arahnya. Sampai ia melemparkan gunting ke arahku dan hampir
mengenai mata kananku.
Maka aku menjadi
sadar, aku telah lebih dulu paham atas konsekuensi dari tindakan. Barangkali ia
baru akan menyesal jika melihat mata kakaknya mengucurkan darah dan menjadi
buta untuk selamanya. Tapi sebelum itu terjadi tidak terpikirkan olehnya bahwa
melemparkan gunting kepadaku adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Konsekuensi
belum datang kepadanya sebagai pemahaman, ia hanya akan datang kepadanya
sebagai kenyataan di kemudian. Tapi ia telah datang kepadaku sebagai pemahaman,
maka aku tidak bisa melempar gunting kembali ke adikku.
Sore itu aku
telah belajar mengapa seorang kakak seharusnya mengalah.
Aku hanya bisa
menahan kekesalan dan menjauhkan diri darinya yang sedang menyunggingkan senyum
menang; aku keluar dari rumah dan pergi ke rumah kawan.
Namun, lain
waktu saat aku bertengkar dengan kakakku aku menjadi egois sebagai pembalasan
karena adikku telah berlaku egois kepadaku. Tapi kakakku adalah anak lelaki, ia
tidak bertengkar dengan mulut atau melempar barang karena itu hal yang
dilakukan perempuan. Kakakku hanya akan menamparku sekali hingga perihnya dalam
sekejap membuat isi kepalaku hening. Lalu panas merayap, membakar pipi dan
hati. Mataku akan basah dan air mataku akan jatuh entah karena sakit di pipi
atau sakit di hati.
Aku akan
menangis mengadu pada Ibuku. Ia akan kemudian memarahi kami berdua dan
menyuruhku untuk jangan menganggu kakakku karena itulah yang akan terjadi. Ia
tidak menyuruh kakakku untuk mengalah, karena ia tahu kakakku tidak akan mau
mengalah. Karena ia keras hati dan ia anak lelaki.
Hal tersebut
tidak cukup sekali, tapi berkali-kali sampai kemudian aku menjadi juga belajar
dan mengerti. Bahwa di rumah ada aturan yang mudah; yang kuat yang mendapat
tempat. Segala aturan lainnya adalah alasan karena barangkali Ibuku tidak
sampai hati mengatakan kepadaku bahwa aku harus mengalah kepada adikku karena
ia lebih egois, dan harus mengalah kepada kakakku karena ia lebih kuat dan
gampang naik darah. Bahwa aku hanya harus selalu mengalah karena aku anak yang
baik dan lemah yang lebih mudah ia suruh agar begitu. Agar ada ketenangan dalam
rumah, ada penyelesaian dalam pertengkaran.
Barangkali saat
itu aku belajar bahwa Ibuku seorang pragmatis. Ia tidak menyelesaikan masalah
dengan adil, ia menyelesaikan masalah dengan mudah.
0 comments: